Pendidikan
Sekolah dan Gereja
Pendidikan kedua yang harus
diperhatikan adalah pendidikan sekolah dan gereja. Setelah keluarga mendidik
anak-anak kecil, maka tugas kedua yang harus mendidik anak tersebut adalah
sekolah dan gereja. Saya menggabungkan dua elemen ini, yaitu sekolah dan
gereja, karena sekolah Kristen yang beres TIDAK bisa dilepaskan dari peran
gereja di mana anak itu beribadah. Tetapi sayang, di era postmodern yang serba
relatif, sekolah “Kristen” pun relatif dan tidak ada kaitannya dengan gereja,
bahkan dengan Kekristenan secara teori maupun praktis. Akibatnya, satu sekolah
“Kristen” di Surabaya bisa didukung oleh berbagai denominasi gereja, tetapi
herannya tidak pernah mengajar anak dari kecil untuk menggumuli panggilan
hidupnya di hadapan Tuhan. Sungguh ironis! Sudah saatnya sekolah-sekolah
Kristen bertobat dari dosa-dosa mereka di zaman dahulu maupun sekarang. Sekolah
Kristen dan gereja harus bersama-sama menggarap anak-anak didik Kristen dari kecil
untuk memiliki hati seorang hamba yang taat kepada Allah sebagai Tuhannya.
Itulah kedewasaan sejati yang Tuhan inginkan. Lalu, bagaimana mendidik
kedewasaan kepada anak di lingkungan sekolah Kristen dan gereja? Prinsipnya
sama seperti pendidikan yang dilakukan oleh orangtua, tetapi aplikasinya agak
sedikit berbeda.
1. Mengajar dan
Mendidik Iman Kristen Sejak Kecil
Tugas para pendidik Kristen yang
terutama adalah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil kepada para anak
didik mereka. Iman Kristen bukan hanya menjadi bidang yang harus diajar oleh
guru agama Kristen, tetapi seharusnya diajar oleh semua guru bidang apa saja.
Dengan kata lain, pendidik Kristen harus menguasai banyak bidang termasuk
theologi dan iman Kristen. Nah, agar para pendidik Kristen menguasai bidang
theologi, tentu, mereka harus belajar Alkitab dan theologi terlebih dahulu
(meskipun tidak harus bergelar akademis di bidang theologi). Lalu, apa tujuan
para pendidik Kristen menguasai theologi untuk mengajar para anak didik mereka
tentang iman Kristen?
a) Mengarahkan arti dan
panggilan hidup: memuliakan Tuhan
Tujuan pertama yaitu untuk
mengarahkan para anak didik akan pentingnya arti dan panggilan hidup
masing-masing pribadi yaitu memuliakan Tuhan. Ada dua hal: arti dan panggilan
hidup. Belajarlah hai para pendidik Kristen untuk mengajar dan mendidik dari
kecil bahwa arti hidup mereka TIDAK ditentukan oleh diri mereka sendiri, dll,
tetapi oleh Tuhan Allah yang menciptakan mereka. Dari kecil, ajarkanlah konsep
penciptaan kepada anak-anak, sehingga mereka dari kecil mengerti bahwa hidup
mereka baru memiliki arti ketika mereka kembali kepada Pencipta mereka. Jika
mereka dari kecil sudah mengerti hal ini, percayalah, ketika mereka dewasa,
mereka tidak akan lagi kebingungan akan arah dan arti hidup mereka. Selain
tentang konsep penciptaan, kita sebagai para pendidik Kristen perlu mengajar
mereka tentang konsep dosa dan penebusan. Setelah Allah menciptakan manusia,
manusia memberontak dan melawan-Nya, itulah dosa. Ajarkanlah bahwa dosa bukan sekadar
membunuh, mencuri, dll, tetapi inti dosa adalah melawan ketetapan-Nya.
Ajarkanlah pula bahwa sebagai pendidik Kristen pun jika kita melawan
ketetapan-Nya, kita tetap berdosa. Ajarkan kepada mereka bahwa dosa itu tidak
bisa diselesaikan oleh manusia siapa pun, kecuali oleh Tuhan Allah. Karena
kasih-Nya, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus
dosa-dosa manusia pilihan-Nya. IA mati di salib demi menggantikan dosa-dosa
kita. Tentu, ketika kita mengajar konsep dosa dan penebusan, kita tidak perlu
memakai bahasa-bahasa tingkat theolog, tetapi kita bisa memakai bahasa-bahasa
yang sederhana dan alat-alat peraga yang memadai supaya anak-anak dari kecil
bisa mengerti. Berarti, di dalam sekolah Kristen, mandat penginjilan tidak bisa
dilepaskan dari ilmu. Sekolah Kristen yang tidak lagi memberitakan Injil,
patutkah sekolah itu disebut sekolah yang menyandang nama “Kristen”? Setelah
mengajar dan mendidik konsep penciptaan, dosa, dan penebusan, kita sudah mulai
menanamkan konsep dasar iman Kristen yang mengakibatkan anak dari kecil sudah
tahu bahwa Allah mencipta mereka (bukan berdasarkan teori evolusi bahwa manusia
ada dari monyet yang berevolusi), bahwa mereka berdosa dengan melawan
ketetapan-Nya (bukan konsep bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa), dan bahwa
mereka sudah ditebus oleh Kristus (bukan konsep bahwa mereka bisa diselamatkan
dengan sendirinya melalui jasa, dll).
Poin kedua yang harus kita
mengerti selain arti hidup, yaitu tentang panggilan hidup. Setelah diajar dan
dididik tentang arah hidup yang berpaut kepada Allah sebagai Pencipta, lalu
diajar tentang dosa dan penebusan di dalam Kristus, anak-anak perlu diajar dan
dididik juga tentang respons mereka akan apa yang sudah Allah perbuat bagi
mereka yaitu panggilan hidup mereka dari Allah. Karena mereka telah dicipta dan
ditebus oleh Kristus, maka sudah seharusnya para pendidik Kristen harus
mengajar anak-anak didik mereka untuk HANYA menaati apa yang menjadi panggilan
Allah bagi setiap pribadi mereka yang unik. Jangan pernah membiarkan
mereka memiliki ambisi pribadi sendiri, tetapi ajarkan kepada mereka untuk
menggumuli panggilan Allah bagi hidupnya sejak kecil melalui talenta yang Ia
percayakan kepada masing-masing anak secara berbeda. Ini bukan sekadar teori,
tetapi harus kita aplikasikan. Panggilan Allah ini bukan hanya berlaku bagi
mereka yang menyerahkan diri secara penuh waktu menjadi hamba Tuhan, tetapi
juga bagi kita yang melayani Tuhan “di dunia luar.” Artinya, di dalam pekerjaan
mana yang harus kita geluti pun, Tuhan memanggil setiap kita berbeda
berdasarkan talenta yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing SECARA
BERBEDA. Mandat kita hanya satu yaitu memuliakan Tuhan sesuai dengan talenta
yang Tuhan percayakan kepada kita. Sebagai para pendidik Kristen, kita harus
menyadarkan anak didik kita sejak kecil tentang talenta yang Tuhan berikan
kepadanya untuk nantinya mereka perkembangkan.
b) Mengarahkan motivasi hidup
Selain arti dan panggilan hidup,
para pendidik Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang
motivasi. Artinya, para pendidik Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak
mereka tentang motivasi sebelum para anak didik mereka melakukan segala
sesuatu. Ketika mereka mau bertindak sesuatu, mereka harus diajar bagaimana
memiliki motivasi yang murni terlebih dahulu, sehingga ketika mereka bertindak,
bukan kehendak mereka yang diutamakan, tetapi kehendak Tuhan. Di sini, perlu
kepekaan rohani yang tinggi dari para pendidik Kristen. Sebelum mengajar
anak-anak mereka, hendaklah para pendidik Kristen terlebih dahulu
mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup. Setelah mereka mengintrospeksi
diri tentang motivasi hidup, barulah mereka layak membimbing para anak didik
mereka. Anak didik yang dari kecil sudah diajar dan dididik untuk memiliki
motivasi yang murni ketika melakukan segala sesuatu, maka anak didik itu pasti
tumbuh dewasa dengan beriman, berkarakter, dan bermental dewasa pula, bukan
hanya secara fisiknya dewasa. Adalah suatu kekonyolan jika ada pendidik Kristen
yang tidak memiliki motivasi yang murni (misalnya, mereka mau menjadi guru,
bukan karena panggilan menjadi guru, tetapi untuk mencari uang atau mencari
pengalaman) berani mengajari para anak didik mereka untuk memiliki motivasi
yang murni.
2. Membentuk Kemandirian
Setelah mengajar dan mendidik
iman Kristen sejak kecil, para pendidik Kristen harus membentuk kemandirian
para anak didik mereka. Ini adalah wujud kedewasaan eksternal yang
diaplikasikan di dalam wilayah pendidikan Kristen dalam sekolah dan gereja.
Membentuk kemandirian tidak berarti kita mengajar mereka individualis, tetapi
mengajar dan mendidik para anak didik untuk hidup berdikari (sambil tetap
bersosialisasi). Apa yang perlu diperhatikan untuk membentuk kemandirian
tersebut?
a) Mengajar etika dan
moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu
Setelah mengajar tentang arti,
panggilan, dan motivasi hidup secara Kristiani, para pendidik Kristen harus
mengajar hal-hal lain, misalnya: etika, moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu
lain. Ini untuk membentuk keseimbangan antara pengertian iman dengan kehidupan
sehari-hari sebagai wujud aplikasinya. Banyak pendidik “Kristen” yang melupakan
aspek pengajaran iman dan hanya menekankan aspek pendidikan kognitif semata,
akibatnya, sampai dewasa, anak-anak mereka tidak memiliki iman yang beres.
Pendidikan kognitif (akademis) tanpa iman akan menciptakan para bajingan,
penipu, dan teroris masa depan, karena tidak dibarengi dengan pengertian iman,
etika, moralitas, dan karakter. Oleh karena itu, sudah seharusnya para pendidik
Kristen mengajar iman Kristen terlebih dahulu kepada anak-anak mereka, baru
setelah itu hal-hal lain, seperti: etika, moralitas, karakter, dll, sehingga
struktur pikiran para anak didik Kristen dari kecil mulai terbentuk mulai dari
takut akan Tuhan, lalu mulai menguasai banyak hal untuk memuliakan-Nya. Hal-hal
itulah yang akan kita uraikan di sini.
(1) Mengajar etika dan
moralitas
Setelah mengajar iman, para
pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka dengan etika dan
moralitas. Etika dan moralitas berbicara mengenai apa yang baik dan tidak yang
berkaitan dengan nilai hidup. Etika dan moralitas dipelajari bukan karena kita
adalah orang Timur. Alkitab sudah mengajar hal ini. Etika dan moralitas
Alkitabiah adalah etika dan moralitas yang theosentris, itulah yang kita taati.
Sedangkan etika-etika dan moralitas duniawi yang MELAWAN Alkitab tidak boleh
kita taati. Hal ini tidak berarti kita anti-duniawi. Yang saya maksud adalah
jika ada etika-etika (dan moralitas) sekuler yang tidak melawan Alkitab, kita
ikuti, tetapi yang melawan Alkitab, hal tersebut tidak boleh kita ikuti. Dengan
kata lain, saya menggabungkan 2 macam etika dan moralitas: Alkitabiah dan
duniawi. Etika Alkitabiah adalah wahyu khusus dari Allah (yang 100% benar),
sedangkan etika duniawi adalah respons manusia berdosa terhadap wahyu umum
Allah (yang bisa benar dan bisa salah). Kepada anak didik yang masih kecil,
para pendidik Kristen harus bijaksana mengajar etika dan moralitas dengan cara
yang mudah dimengerti. Misalnya, mengajar mereka agar tidak berbohong, tidak
mencuri, dll bukan dengan menakuti-nakuti mereka, tetapi dengan mendorong
mereka melakukannya sebagai respons cinta mereka kepada Tuhan dan
perintah-perintah-Nya. Ini yang membedakan etika Alkitabiah dengan etika
duniawi. Kalau dunia mengajar anak dari kecil untuk tidak berbohong, tidak
mencuri, dll sebagai suatu perintah yang menakutkan, tetapi etika Kristen yang
Alkitabiah mengajarkan bahwa kita melakukan semuanya itu sebagai respons kita
mengasihi-Nya dan firman/perintah-Nya (1Yoh. 5:3).
Lalu kepada para mahasiswa/i di
kampus, para pendidik Kristen bisa meningkatkan kualitas dalam mendidik mereka
agar memiliki etika. Saya baru mengikuti Seminar Pemuda: Etos Kerja Kristen dan
Pengelolaan Finansial Keluarga di gereja saja (GRII Andhika, Surabaya) pada
tanggal 24-25 November 2008 oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. dan Bp. Ricky
Sudarsono, S.E., M.R.E., CFP (Ketua Jurusan IBM—International Business
Management di sebuah universitas “Kristen” di Surabaya). Nah, pada hari pertama
seminar, Bp. Ricky sebagai seorang dosen yang berpengalaman di universitas
tersebut memaparkan bagaimana beliau memaparkan prinsip-prinsip etika Kristen
sebelum beliau mengulas teori bisnis. Beliau menyadari bahwa hal ini bisa
dianggap aneh di universitas “Kristen” yang sudah menjadi atheis praktis tersebut,
tetapi beliau melakukannya dengan tujuan agar para mahasiswa memiliki etika di
dalam berbisnis, sehingga tidak menjadi penipu-penipu cerdik lalu celakanya
memakai label “Kristen.”
(2) Mengajar karakter
Setelah selesai mengajar etika
dan moralitas, para pendidik Kristen harus mengajar karakter kepada para anak
didik mereka. Karakter ini berbicara mengenai sifat, kepribadian, dll dari
seorang manusia. Nah, masalahnya adalah manusia sering menyembunyikan karakter
mereka, seolah-olah mereka itu baik, apalagi kalau di gereja. Karakter kita
akan nampak jelas ketika kita berhadapan dengan kesulitan. Orang yang memiliki
karakter dewasa ketika menghadapi kesulitan, ia tidak mudah
mengomel/bersungut-sungut atau meminta orang lain memperhatikan dirinya, tetapi
orang yang karakternya dewasa akan berusaha menahan dan menyangkal diri di
dalam kesulitan itu, lalu berusaha mencari jalan keluarnya serta berharap
kepada Tuhan. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk
memiliki karakter Kristen yang dewasa, yaitu dengan:
Pertama, belajar menyangkal diri
di dalam kesulitan. Ketika ada kesulitan menghimpit, para pendidik Kristen
harus mengajar para anak didik mereka untuk tidak membicarakannya kepada
teman-temannya terlebih dahulu, melainkan harus menyangkal diri. Mereka harus
diajar untuk memecahkan masalah itu sendiri, sambil mengajar mereka untuk
berserah kepada Tuhan di dalam doa. Jika memang masalah itu tidak bisa diatasi
oleh para anak didik tersebut, mereka boleh mensharekan kepada temannya agar
temannya bisa membantu mencari jalan keluarnya.
Kedua, belajar memperhatikan
orang lain. Di dalam kesulitan dan dalam segala hal, biasakan untuk tidak
mencari perhatian dari orang lain, tetapi justru memberi perhatian kepada orang
lain. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk tidak
terus mencari perhatian dari temannya ketika mereka menghadapi masalah, tetapi
justru ajari mereka untuk memperhatikan temannya yang mengalami masalah lebih
berat dari dirinya. Hal ini mengajar mereka agar tidak egois.
Ketiga, belajar tidak memiliki
kepribadian ganda. Setelah belajar memperhatikan orang lain, kita harus belajar
juga untuk tidak berkepribadian ganda. Para pendidik Kristen harus mengajar
para anak didik untuk tidak berkepribadian ganda atau munafik. Caranya adalah
dengan memiliki ketulusan dan kasih. Kasih itu tidak
berpura-pura/munafik/bertopeng (Rm. 12:9).
(3) Mengajar ilmu-ilmu
Setelah mengajar etika dan
moralitas ditambah karakter, para pendidik Kristen baru mengajar para anak didik
mereka tentang ilmu-ilmu. Saya meletakkannya di urutan terakhir, karena ilmu
memang adalah urutan terakhir setelah pembentukan iman, etika, moralitas, dan
karakter. Ilmu yang diajarkan oleh para pendidik Kristen ini pun harus dihakimi
oleh iman dan etika Kristiani. Hal ini tidak berarti para pendidik Kristen
hanya mengajar ilmu-ilmu yang cocok dengan iman Kristiani saja. Para pendidik
Kristen harus mengajar semua ilmu, tetapi mereka harus jujur mengakui dan
mengatakan kepada para anak didiknya tentang kesalahan suatu ilmu jika ilmu itu
melawan iman Kristen. Mengatakan kesalahan itu pun harus dengan bahasa yang
sederhana, supaya para anak didik dari kecil sudah mengerti mana yang benar dan
mana yang salah, lalu menunjukkan ketidakberesan yang salah itu. Kalau anak
didik kita sudah beranjak remaja, dewasa, bahkan sudah mahasiswa/i, sebagai
para pendidik Kristen, kita dituntut untuk lebih kritis lagi mengajar dan
menghakimi semua ilmu sesuai dengan kebenaran Alkitab. Kita dituntut untuk
berani mengatakan ilmu tertentu itu salah sambil menunjukkan ketidaklogisan dan
ketidakberesan cara berpikir ilmu tertentu yang salah itu.
b) Mengajar bijaksana
Setelah mengajar etika dan
moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu, para pendidik Kristen dituntut untuk
mengajar para anak didik mereka tentang kebijaksanaan. Kepandaian dan akhlak
itu perlu dan penting, tetapi harus disertai dengan kebijaksanaan.
Kebijaksanaan yang harus diajarkan oleh para pendidik Kristen meliputi dua hal:
(1) Bijaksana dalam
mengambil keputusan
Sejak kecil, para pendidik
Kristen harus mengajar para anak didik untuk bijaksana dalam mengambil
keputusan. Bagaimana caranya? Tentu dengan mengajar mereka konsep-konsep
sederhana tentang bijaksana, lalu mengajar dan mengaitkan konsep bijaksana itu
dengan Allah sebagai Sumber Bijaksana. Setelah itu, baru, mereka dididik untuk
bijaksana dalam mengambil keputusan menurut kehendak dan pimpinan-Nya. Apa yang
dimaksud dengan bijaksana mengambil keputusan? Para pendidik Kristen harus
mengajar kepada para anak didik bahwa bijaksana dalam mengambil keputusan itu
adalah bijaksana dalam mengambil keputusan di saat tertentu bukan bertujuan
untuk memikirkan diri sendiri, tetapi juga memikirkan aspek dan orang lain.
Dengan kata lain, bijaksana dalam mengambil keputusan menuntut kematangan
rohani dan mementingkan kepentingan orang lain.
Kepada para anak didik yang
lebih dewasa, seperti mahasiswa/i, para pendidik/dosen Kristen harus lebih
menekankan bagaimana bijaksana dalam mengambil keputusan yang tepat di saat
mendesak. Hal ini penting, mengingat usia mereka yang cukup dewasa dan menuju
ke jenjang karier dan pernikahan. Keputusan tersebut diambil bukan berdasarkan
hikmat manusia saja, tetapi terlebih berdasarkan hikmat Allah yang melampaui
hikmat manusia.
(2) Bijaksana dalam mengelola:
waktu, keuangan, dll
Selain bijaksana dalam mengambil
keputusan, para pendidik Kristen juga harus mengajar para anak didik tentang
bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll. Sebelum kita mengajar mereka
untuk bijaksana mengelola waktu, keuangan, dll, terlebih dahulu kita mengajar
mereka tentang konsep nilai. Ajarkanlah kepada mereka bahwa sesuatu memiliki
nilai dan nilai itu ditentukan oleh Kebenaran Allah. Jika nilai sesuatu itu
tinggi, belajarlah mengelola waktu dan keuangan demi mengejar nilai tersebut,
sebaliknya jika nilai sesuatu itu rendah, tidak usah terlalu meributkan sesuatu
tersebut. Setelah mengajar mereka tentang konsep nilai, maka ajarkan mereka
bahwa waktu itu anugerah Allah bagi kita yang harus dipertanggungjawabkan. Lalu,
ajarkanlah kepada mereka bagaimana mengatur waktu secara tepat dan
menomersatukan hubungan pribadi dengan Allah sebagai aktivitas terpenting di
dalam waktunya. Dari sini, kita melatih dan mendidik anak dari kecil untuk
menTuhankan yang patut diperTuhankan di dalam hidup dan waktu yang
dianugerahkan-Nya. Selain waktu, uang pun adalah anugerah Allah yang diberikan
kepada kita untuk dipertanggungjawabkan. Sehingga, para pendidik Kristen harus
mengajar para anak didik untuk bijak mengelola uang Tuhan tersebut untuk
kemuliaan-Nya. Caranya, ajarkan mereka untuk pertama-tama memberikan uang
persembahan kepada Tuhan sebagai hal yang terpenting, baru sesudah itu untuk
keperluan lain, seperti: sekolah, jajan, dan bermain.
Kepada para mahasiswa/i, tugas
para pendidik/dosen Kristen lebih berat lagi, yaitu mendidik mereka untuk
mempertanggungjawabkan uang dan waktu yang Tuhan berikan demi kemuliaan-Nya.
Ini lebih tidak mudah, mengapa? Karena para mahasiswa/i yang sudah besar sulit
diatur apalagi diarahkan untuk menomersatukan Tuhan. Bukan hanya sulit diatur,
apalagi bagi para mahasiswa yang sudah/sedang berpacaran, Tuhan dijadikan ban
serep, lalu pacar dijadikan hal terpenting, maka seorang mahasiswa bisa lebih
rela mentraktir pacarnya hampir setiap hari di restoran mahal dan menyediakan
waktunya untuk berkomunikasi dengan pacarnya daripada memberikan persepuluhan
dan persembahan untuk pekerjaan Tuhan dan menyediakan waktu untuk saat teduh.
Inilah tugas berat dari seorang pendidik Kristen yang harus mengajar para
mahasiswa/i untuk bijaksana dalam mengelola waktu dan keuangan. Caranya,
sadarkan mereka apalagi mereka yang sedang berpacaran untuk lebih memikirkan
masa depan ketimbang masa sekarang. Jika di masa sekarang, mereka tidak bisa
mengelola waktu dan keuangan, maka bagaimana mungkin di masa depan mereka bisa
bertahan apalagi nantinya menikah yang membutuhkan dana yang tidak murah. Oleh
karena itu, ajarkan mereka untuk bijaksana dalam mengelola keuangan, salah
satunya adalah hemat dan menabung, lalu bijaksana juga dalam mengelola waktu
dengan tidak membuang-buang waktu untuk aktivitas yang tidak perlu.
c) Mengajar bertanggungjawab
Selain mengajar bijaksana, para
pendidik Kristen harus mengajar para anak didiknya untuk bertanggungjawab. Dari
kecil, ajarkan kepada mereka untuk selalu mempertanggungjawabkan apa yang telah
mereka pikirkan, katakan, dan lakukan. Caranya, setelah seorang anak kecil
selesai berkata sesuatu dan ada perkataannya yang salah, seorang guru Kristen
yang beres harus segera menegur anak itu yang berkata salah. Jangan pernah
sungkan atau malu menegur kesalahan anak, karena itu adalah hal penting. Jangan
meniru pola pendidikan Montessori (berakar dari filsafat Tabula Rasa yang
dicetuskan oleh J. J. Rouseau) yang mengajar bahwa setiap anak itu dilahirkan baik
dan guru dibutuhkan untuk membentuk karakter anak itu lebih baik lagi. Itu
bukan Kristen! Ketika dari kecil, guru Kristen tidak mau menegur kesalahan
seorang anak, maka anak itu tidak tahu mana yang benar dan salah sampai anak
itu bertumbuh dewasa. Jika demikian, yang patut disalahkan selain orangtuanya
adalah gurunya juga. Para pendidik Kristen dituntut untuk tidak meniru format
pendidikan dunia, karena Kekristenan mengajar hal yang berbeda total dari
format pendidikan dunia khususnya dalam hal ini, di mana Tuhan Yesus mengajar,
“Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan:
tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat. 5:37) Yakobus
mengutip kembali pengajaran Tuhan Yesus ini di dalam Yakobus 5:12.
Kepada para mahasiswa/i, para
pendidik Kristen lebih berat lagi dalam tugasnya mengajar hal ini. Mengapa?
Karena seorang anak didik yang sudah besar sulit diajar untuk
mempertanggungjawabkan segala sesuatu, apalagi di era postmodern di mana
cuek-isme dijunjung tinggi (pragmatis). Meskipun berat, para pendidik Kristen
tetap harus mengajar para mahasiswa/i untuk mempertanggungjawabkan segala
sesuatu, sehingga di kemudian hari, mereka bisa hidup lebih dewasa lagi.
Bagaimana caranya? Ketika ada seorang mahasiswa/i yang etikanya tidak beres di
sebuah kelas, dosen Kristen yang beres harus menegurnya. Sayangnya, hal ini
jarang kita jumpai lagi, apalagi di sebuah kampus “Kristen.” Jangankan ada
dosen Kristen yang berani menegur mahasiswanya, dosennya sendiri ada yang tidak
beres. Saya sedih melihat sikap seorang dosen di kampus “Kristen” yang merokok
sebelum kelas dimulai, padahal di kampus ini diberlakukan peraturan tidak boleh
merokok. Untung saja, mungkin, tidak banyak mahasiswa yang melihat tindakan
dosen ini.
d) Melatih anak untuk hidup susah
Hal terakhir yang harus
diajarkan oleh para pendidik Kristen adalah melatih para anak didik untuk hidup
susah. Artinya ajarkan kepada mereka untuk memiliki mental yang lebih mandiri,
yaitu berani menyangkal diri dan mencari jalan keluar sendiri ketika ada
masalah. Contohnya, jika ada seorang anak didik yang bertanya tentang hal-hal
yang sudah diajarkan sejak lama kepada gurunya, seorang guru Kristen tidak
perlu terus menjawab pertanyaan tersebut. Ajari mereka untuk mencari jawaban
sendiri misalnya dengan bertanya kepada teman atau memikirkan sendiri
jawabannya.
Kepada para mahasiswa/i, para
dosen Kristen harus melatih mereka untuk hidup susah juga. Tetapi tentu ini
adalah tugas yang lebih sulit lagi, mengingat jika dosen Kristen ini mengajar
di kampus swasta di mana banyak mahasiswanya naik mobil sendiri. Meskipun
sulit, para dosen Kristen harus mengajar para mahasiswa/i untuk menyangkal diri
dan mencari jalan keluar sendiri ketika ada masalah. Misalnya, latihlah mereka
tentang logika dan bagaimana berpikir logis ketika ada masalah. Selain itu,
latihlah mereka untuk mengerjakan pekerjaan yang sulit dan kotor, sehingga
mereka terbiasa untuk hidup tidak terlalu enak-enakan. Anak yang sudah terbiasa
mengerjakan sesuatu yang sulit dan kotor, anak itu akan lebih memiliki
ketahanan yang kuat ketika nantinya harus mengalami kesusahan hidup yang lebih
berat. Sayangnya, banyak mahasiswa yang tidak mampu menghadapi kesulitan hidup
dikarenakan mereka dari kecil tidak diajar untuk berani susah. Bukan hanya
mahasiswa, seorang hamba Tuhan pun sampai sekarang tidak berani susah, dalam
arti jijik melihat sesuatu yang kotor, bahkan saya sendiri melihat di jok
mobilnya ditutupi dengan alas surat kabar supaya tidak kotor. Waduh, kalau
hal-hal sepele begini saja sudah seperti itu, bagaimana dia bisa berperang
menghadapi kesulitan hidup?
3. Mendidik untuk
Hidup Bersosialisasi
Setelah mendidik untuk mandiri,
para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk hidup
bersosialisasi. Ini penting, supaya para anak didik Kristen tidak hanya diajar
untuk berani mandiri, tetapi juga untuk berani berbagi hidup dengan temannya
dan orang lain. Bagaimana caranya?
a) Mengajar pentingnya
peranan orang lain
Poin dasar untuk mengajar para
anak didik untuk hidup bersosialisasi adalah mengajar mereka pentingnya peranan
orang lain, terutama teman dan orangtua. Ajarkan mereka bahwa manusia
diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial. Ini bukan hanya belajar PPKn atau
pelajaran Pancasila, tetapi ini mengarahkan mereka untuk belajar menerima
teguran, kritikan, dll dari orang lain yang membangun ketika mereka bersalah.
Dari situlah, seorang anak didik Kristen sejak kecil menerima realitas bahwa
orang lain itu berperan di dalam hidupnya. Lalu, setelah dewasa, ia tidak akan
hidup egois lagi. Tetapi, sayangnya, dunia postmodern sangat tidak menyukai
kritikan yang membangun, karena bagi mereka, itu menghakimi. Alhasil, tidak
usah heran, banyak pemuda/i dan orang dewasa/tua Kristen ketika ditegur
dosanya, mereka akan marah-marah, apalagi orang yang sudah tua ketika ditegur,
mereka akan balik memarahi kita yang menegurnya lalu mengatakan bahwa kita
kurang ajar berani mengajari orang tua. Semuanya itu disebabkan karena tidak
adanya pendidikan tentang bagaimana hidup bersosialisasi dengan orang lain.
b) Mengajar untuk memperhatikan orang lain
Setelah diajar mengenai
pentingnya peranan orang lain, para anak didik Kristen harus diajar juga untuk
memperhatikan mereka. Artinya, kita bukan memanfaatkan peranan orang lain itu
demi keuntungan kita. Kita dituntut untuk memperhatikan orang lain. Para
pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk segera tanggap
ketika ada temannya yang sakit atau membutuhkan bantuan. Ketika anak dari kecil
diajar demikian, maka saat dewasa pun, anak ini akan memperhatikan orang lain
bahkan mereka yang lebih menderita.
c) Mengajar untuk berbagi berkat kepada orang lain
Wujud dari memperhatikan orang
lain adalah dengan berbagi berkat kepada orang lain. Inilah tugas para pendidik
Kristen di dalam mengajar para anak didik mereka. Didiklah mereka dari kecil
untuk berbagi berkat kepada orang lain. Bagaimana caranya? Caranya adalah
mendidik anak kecil untuk berbagi bekal makanan yang mereka bawa dari rumah
kepada temannya. Hal ini mendidik anak kecil agar hidupnya tidak egois. Nanti,
setelah beranjak dewasa, yaitu pada waktu mahasiswa/i, coba didik mereka bukan
hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi hidup, pengetahuan, dan pengalaman,
terutama mengenai iman dan karakter kepada orang lain, sehingga orang lain
diberkati melalui sharing mereka. Jika ada teman mengalami kesulitan dalam
mengerjakan tugasnya, maka para mahasiswa/i dituntut untuk membantu meringankan
kesulitan itu, mungkin dengan mengajari temannya yang belum mengerti itu.
Ketika kita berbagi berkat kepada orang lain, selain orang lain diberkati, kita
pun dikuatkan. Semakin kita banyak membantu mengajari teman yang belum
mengerti, selain teman kita yang diberkati, kita pun juga mendapat banyak
berkat yaitu bertambahnya ilmu yang kita kuasai. Saya bukan sekadar berteori,
saya sudah menjalankannya dan telah mendapat banyak berkat dengan banyak
sharing kepada orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar