Sabtu, 09 Februari 2013

Pendidikan Sekolah dan Gereja



Pendidikan Sekolah dan Gereja
Pendidikan kedua yang harus diperhatikan adalah pendidikan sekolah dan gereja. Setelah keluarga mendidik anak-anak kecil, maka tugas kedua yang harus mendidik anak tersebut adalah sekolah dan gereja. Saya menggabungkan dua elemen ini, yaitu sekolah dan gereja, karena sekolah Kristen yang beres TIDAK bisa dilepaskan dari peran gereja di mana anak itu beribadah. Tetapi sayang, di era postmodern yang serba relatif, sekolah “Kristen” pun relatif dan tidak ada kaitannya dengan gereja, bahkan dengan Kekristenan secara teori maupun praktis. Akibatnya, satu sekolah “Kristen” di Surabaya bisa didukung oleh berbagai denominasi gereja, tetapi herannya tidak pernah mengajar anak dari kecil untuk menggumuli panggilan hidupnya di hadapan Tuhan. Sungguh ironis! Sudah saatnya sekolah-sekolah Kristen bertobat dari dosa-dosa mereka di zaman dahulu maupun sekarang. Sekolah Kristen dan gereja harus bersama-sama menggarap anak-anak didik Kristen dari kecil untuk memiliki hati seorang hamba yang taat kepada Allah sebagai Tuhannya. Itulah kedewasaan sejati yang Tuhan inginkan. Lalu, bagaimana mendidik kedewasaan kepada anak di lingkungan sekolah Kristen dan gereja? Prinsipnya sama seperti pendidikan yang dilakukan oleh orangtua, tetapi aplikasinya agak sedikit berbeda.

1. Mengajar dan Mendidik Iman Kristen Sejak Kecil
Tugas para pendidik Kristen yang terutama adalah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil kepada para anak didik mereka. Iman Kristen bukan hanya menjadi bidang yang harus diajar oleh guru agama Kristen, tetapi seharusnya diajar oleh semua guru bidang apa saja. Dengan kata lain, pendidik Kristen harus menguasai banyak bidang termasuk theologi dan iman Kristen. Nah, agar para pendidik Kristen menguasai bidang theologi, tentu, mereka harus belajar Alkitab dan theologi terlebih dahulu (meskipun tidak harus bergelar akademis di bidang theologi). Lalu, apa tujuan para pendidik Kristen menguasai theologi untuk mengajar para anak didik mereka tentang iman Kristen?
a) Mengarahkan arti dan panggilan hidup: memuliakan Tuhan
Tujuan pertama yaitu untuk mengarahkan para anak didik akan pentingnya arti dan panggilan hidup masing-masing pribadi yaitu memuliakan Tuhan. Ada dua hal: arti dan panggilan hidup. Belajarlah hai para pendidik Kristen untuk mengajar dan mendidik dari kecil bahwa arti hidup mereka TIDAK ditentukan oleh diri mereka sendiri, dll, tetapi oleh Tuhan Allah yang menciptakan mereka. Dari kecil, ajarkanlah konsep penciptaan kepada anak-anak, sehingga mereka dari kecil mengerti bahwa hidup mereka baru memiliki arti ketika mereka kembali kepada Pencipta mereka. Jika mereka dari kecil sudah mengerti hal ini, percayalah, ketika mereka dewasa, mereka tidak akan lagi kebingungan akan arah dan arti hidup mereka. Selain tentang konsep penciptaan, kita sebagai para pendidik Kristen perlu mengajar mereka tentang konsep dosa dan penebusan. Setelah Allah menciptakan manusia, manusia memberontak dan melawan-Nya, itulah dosa. Ajarkanlah bahwa dosa bukan sekadar membunuh, mencuri, dll, tetapi inti dosa adalah melawan ketetapan-Nya. Ajarkanlah pula bahwa sebagai pendidik Kristen pun jika kita melawan ketetapan-Nya, kita tetap berdosa. Ajarkan kepada mereka bahwa dosa itu tidak bisa diselesaikan oleh manusia siapa pun, kecuali oleh Tuhan Allah. Karena kasih-Nya, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. IA mati di salib demi menggantikan dosa-dosa kita. Tentu, ketika kita mengajar konsep dosa dan penebusan, kita tidak perlu memakai bahasa-bahasa tingkat theolog, tetapi kita bisa memakai bahasa-bahasa yang sederhana dan alat-alat peraga yang memadai supaya anak-anak dari kecil bisa mengerti. Berarti, di dalam sekolah Kristen, mandat penginjilan tidak bisa dilepaskan dari ilmu. Sekolah Kristen yang tidak lagi memberitakan Injil, patutkah sekolah itu disebut sekolah yang menyandang nama “Kristen”? Setelah mengajar dan mendidik konsep penciptaan, dosa, dan penebusan, kita sudah mulai menanamkan konsep dasar iman Kristen yang mengakibatkan anak dari kecil sudah tahu bahwa Allah mencipta mereka (bukan berdasarkan teori evolusi bahwa manusia ada dari monyet yang berevolusi), bahwa mereka berdosa dengan melawan ketetapan-Nya (bukan konsep bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa), dan bahwa mereka sudah ditebus oleh Kristus (bukan konsep bahwa mereka bisa diselamatkan dengan sendirinya melalui jasa, dll).
Poin kedua yang harus kita mengerti selain arti hidup, yaitu tentang panggilan hidup. Setelah diajar dan dididik tentang arah hidup yang berpaut kepada Allah sebagai Pencipta, lalu diajar tentang dosa dan penebusan di dalam Kristus, anak-anak perlu diajar dan dididik juga tentang respons mereka akan apa yang sudah Allah perbuat bagi mereka yaitu panggilan hidup mereka dari Allah. Karena mereka telah dicipta dan ditebus oleh Kristus, maka sudah seharusnya para pendidik Kristen harus mengajar anak-anak didik mereka untuk HANYA menaati apa yang menjadi panggilan Allah bagi setiap pribadi mereka yang unik. Jangan  pernah membiarkan mereka memiliki ambisi pribadi sendiri, tetapi ajarkan kepada mereka untuk menggumuli panggilan Allah bagi hidupnya sejak kecil melalui talenta yang Ia percayakan kepada masing-masing anak secara berbeda. Ini bukan sekadar teori, tetapi harus kita aplikasikan. Panggilan Allah ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang menyerahkan diri secara penuh waktu menjadi hamba Tuhan, tetapi juga bagi kita yang melayani Tuhan “di dunia luar.” Artinya, di dalam pekerjaan mana yang harus kita geluti pun, Tuhan memanggil setiap kita berbeda berdasarkan talenta yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing SECARA BERBEDA. Mandat kita hanya satu yaitu memuliakan Tuhan sesuai dengan talenta yang Tuhan percayakan kepada kita. Sebagai para pendidik Kristen, kita harus menyadarkan anak didik kita sejak kecil tentang talenta yang Tuhan berikan kepadanya untuk nantinya mereka perkembangkan.

b) Mengarahkan motivasi hidup
Selain arti dan panggilan hidup, para pendidik Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi. Artinya, para pendidik Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi sebelum para anak didik mereka melakukan segala sesuatu. Ketika mereka mau bertindak sesuatu, mereka harus diajar bagaimana memiliki motivasi yang murni terlebih dahulu, sehingga ketika mereka bertindak, bukan kehendak mereka yang diutamakan, tetapi kehendak Tuhan. Di sini, perlu kepekaan rohani yang tinggi dari para pendidik Kristen. Sebelum mengajar anak-anak mereka, hendaklah para pendidik Kristen terlebih dahulu mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup. Setelah mereka mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup, barulah mereka layak membimbing para anak didik mereka. Anak didik yang dari kecil sudah diajar dan dididik untuk memiliki motivasi yang murni ketika melakukan segala sesuatu, maka anak didik itu pasti tumbuh dewasa dengan beriman, berkarakter, dan bermental dewasa pula, bukan hanya secara fisiknya dewasa. Adalah suatu kekonyolan jika ada pendidik Kristen yang tidak memiliki motivasi yang murni (misalnya, mereka mau menjadi guru, bukan karena panggilan menjadi guru, tetapi untuk mencari uang atau mencari pengalaman) berani mengajari para anak didik mereka untuk memiliki motivasi yang murni.


2. Membentuk Kemandirian
Setelah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil, para pendidik Kristen harus membentuk kemandirian para anak didik mereka. Ini adalah wujud kedewasaan eksternal yang diaplikasikan di dalam wilayah pendidikan Kristen dalam sekolah dan gereja. Membentuk kemandirian tidak berarti kita mengajar mereka individualis, tetapi mengajar dan mendidik para anak didik untuk hidup berdikari (sambil tetap bersosialisasi). Apa yang perlu diperhatikan untuk membentuk kemandirian tersebut?
a) Mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu
Setelah mengajar tentang arti, panggilan, dan motivasi hidup secara Kristiani, para pendidik Kristen harus mengajar hal-hal lain, misalnya: etika, moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu lain. Ini untuk membentuk keseimbangan antara pengertian iman dengan kehidupan sehari-hari sebagai wujud aplikasinya. Banyak pendidik “Kristen” yang melupakan aspek pengajaran iman dan hanya menekankan aspek pendidikan kognitif semata, akibatnya, sampai dewasa, anak-anak mereka tidak memiliki iman yang beres. Pendidikan kognitif (akademis) tanpa iman akan menciptakan para bajingan, penipu, dan teroris masa depan, karena tidak dibarengi dengan pengertian iman, etika, moralitas, dan karakter. Oleh karena itu, sudah seharusnya para pendidik Kristen mengajar iman Kristen terlebih dahulu kepada anak-anak mereka, baru setelah itu hal-hal lain, seperti: etika, moralitas, karakter, dll, sehingga struktur pikiran para anak didik Kristen dari kecil mulai terbentuk mulai dari takut akan Tuhan, lalu mulai menguasai banyak hal untuk memuliakan-Nya. Hal-hal itulah yang akan kita uraikan di sini.

(1) Mengajar etika dan moralitas
Setelah mengajar iman, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka dengan etika dan moralitas. Etika dan moralitas berbicara mengenai apa yang baik dan tidak yang berkaitan dengan nilai hidup. Etika dan moralitas dipelajari bukan karena kita adalah orang Timur. Alkitab sudah mengajar hal ini. Etika dan moralitas Alkitabiah adalah etika dan moralitas yang theosentris, itulah yang kita taati. Sedangkan etika-etika dan moralitas duniawi yang MELAWAN Alkitab tidak boleh kita taati. Hal ini tidak berarti kita anti-duniawi. Yang saya maksud adalah jika ada etika-etika (dan moralitas) sekuler yang tidak melawan Alkitab, kita ikuti, tetapi yang melawan Alkitab, hal tersebut tidak boleh kita ikuti. Dengan kata lain, saya menggabungkan 2 macam etika dan moralitas: Alkitabiah dan duniawi. Etika Alkitabiah adalah wahyu khusus dari Allah (yang 100% benar), sedangkan etika duniawi adalah respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah (yang bisa benar dan bisa salah). Kepada anak didik yang masih kecil, para pendidik Kristen harus bijaksana mengajar etika dan moralitas dengan cara yang mudah dimengerti. Misalnya, mengajar mereka agar tidak berbohong, tidak mencuri, dll bukan dengan menakuti-nakuti mereka, tetapi dengan mendorong mereka melakukannya sebagai respons cinta mereka kepada Tuhan dan perintah-perintah-Nya. Ini yang membedakan etika Alkitabiah dengan etika duniawi. Kalau dunia mengajar anak dari kecil untuk tidak berbohong, tidak mencuri, dll sebagai suatu perintah yang menakutkan, tetapi etika Kristen yang Alkitabiah mengajarkan bahwa kita melakukan semuanya itu sebagai respons kita mengasihi-Nya dan firman/perintah-Nya (1Yoh. 5:3).
Lalu kepada para mahasiswa/i di kampus, para pendidik Kristen bisa meningkatkan kualitas dalam mendidik mereka agar memiliki etika. Saya baru mengikuti Seminar Pemuda: Etos Kerja Kristen dan Pengelolaan Finansial Keluarga di gereja saja (GRII Andhika, Surabaya) pada tanggal 24-25 November 2008 oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. dan Bp. Ricky Sudarsono, S.E., M.R.E., CFP (Ketua Jurusan IBM—International Business Management di sebuah universitas “Kristen” di Surabaya). Nah, pada hari pertama seminar, Bp. Ricky sebagai seorang dosen yang berpengalaman di universitas tersebut memaparkan bagaimana beliau memaparkan prinsip-prinsip etika Kristen sebelum beliau mengulas teori bisnis. Beliau menyadari bahwa hal ini bisa dianggap aneh di universitas “Kristen” yang sudah menjadi atheis praktis tersebut, tetapi beliau melakukannya dengan tujuan agar para mahasiswa memiliki etika di dalam berbisnis, sehingga tidak menjadi penipu-penipu cerdik lalu celakanya memakai label “Kristen.”
(2) Mengajar karakter
Setelah selesai mengajar etika dan moralitas, para pendidik Kristen harus mengajar karakter kepada para anak didik mereka. Karakter ini berbicara mengenai sifat, kepribadian, dll dari seorang manusia. Nah, masalahnya adalah manusia sering menyembunyikan karakter mereka, seolah-olah mereka itu baik, apalagi kalau di gereja. Karakter kita akan nampak jelas ketika kita berhadapan dengan kesulitan. Orang yang memiliki karakter dewasa ketika menghadapi kesulitan, ia tidak mudah mengomel/bersungut-sungut atau meminta orang lain memperhatikan dirinya, tetapi orang yang karakternya dewasa akan berusaha menahan dan menyangkal diri di dalam kesulitan itu, lalu berusaha mencari jalan keluarnya serta berharap kepada Tuhan. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk memiliki karakter Kristen yang dewasa, yaitu dengan:
Pertama, belajar menyangkal diri di dalam kesulitan. Ketika ada kesulitan menghimpit, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk tidak membicarakannya kepada teman-temannya terlebih dahulu, melainkan harus menyangkal diri. Mereka harus diajar untuk memecahkan masalah itu sendiri, sambil mengajar mereka untuk berserah kepada Tuhan di dalam doa. Jika memang masalah itu tidak bisa diatasi oleh para anak didik tersebut, mereka boleh mensharekan kepada temannya agar temannya bisa membantu mencari jalan keluarnya.
Kedua, belajar memperhatikan orang lain. Di dalam kesulitan dan dalam segala hal, biasakan untuk tidak mencari perhatian dari orang lain, tetapi justru memberi perhatian kepada orang lain. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk tidak terus mencari perhatian dari temannya ketika mereka menghadapi masalah, tetapi justru ajari mereka untuk memperhatikan temannya yang mengalami masalah lebih berat dari dirinya. Hal ini mengajar mereka agar tidak egois.
Ketiga, belajar tidak memiliki kepribadian ganda. Setelah belajar memperhatikan orang lain, kita harus belajar juga untuk tidak berkepribadian ganda. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk tidak berkepribadian ganda atau munafik. Caranya adalah dengan memiliki ketulusan dan kasih. Kasih itu tidak berpura-pura/munafik/bertopeng (Rm. 12:9).
(3) Mengajar ilmu-ilmu
Setelah mengajar etika dan moralitas ditambah karakter, para pendidik Kristen baru mengajar para anak didik mereka tentang ilmu-ilmu. Saya meletakkannya di urutan terakhir, karena ilmu memang adalah urutan terakhir setelah pembentukan iman, etika, moralitas, dan karakter. Ilmu yang diajarkan oleh para pendidik Kristen ini pun harus dihakimi oleh iman dan etika Kristiani. Hal ini tidak berarti para pendidik Kristen hanya mengajar ilmu-ilmu yang cocok dengan iman Kristiani saja. Para pendidik Kristen harus mengajar semua ilmu, tetapi mereka harus jujur mengakui dan mengatakan kepada para anak didiknya tentang kesalahan suatu ilmu jika ilmu itu melawan iman Kristen. Mengatakan kesalahan itu pun harus dengan bahasa yang sederhana, supaya para anak didik dari kecil sudah mengerti mana yang benar dan mana yang salah, lalu menunjukkan ketidakberesan yang salah itu. Kalau anak didik kita sudah beranjak remaja, dewasa, bahkan sudah mahasiswa/i, sebagai para pendidik Kristen, kita dituntut untuk lebih kritis lagi mengajar dan menghakimi semua ilmu sesuai dengan kebenaran Alkitab. Kita dituntut untuk berani mengatakan ilmu tertentu itu salah sambil menunjukkan ketidaklogisan dan ketidakberesan cara berpikir ilmu tertentu yang salah itu.

b) Mengajar bijaksana
Setelah mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu, para pendidik Kristen dituntut untuk mengajar para anak didik mereka tentang kebijaksanaan. Kepandaian dan akhlak itu perlu dan penting, tetapi harus disertai dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang harus diajarkan oleh para pendidik Kristen meliputi dua hal:
(1) Bijaksana dalam mengambil keputusan
Sejak kecil, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk bijaksana dalam mengambil keputusan. Bagaimana caranya? Tentu dengan mengajar mereka konsep-konsep sederhana tentang bijaksana, lalu mengajar dan mengaitkan konsep bijaksana itu dengan Allah sebagai Sumber Bijaksana. Setelah itu, baru, mereka dididik untuk bijaksana dalam mengambil keputusan menurut kehendak dan pimpinan-Nya. Apa yang dimaksud dengan bijaksana mengambil keputusan? Para pendidik Kristen harus mengajar kepada para anak didik bahwa bijaksana dalam mengambil keputusan itu adalah bijaksana dalam mengambil keputusan di saat tertentu bukan bertujuan untuk memikirkan diri sendiri, tetapi juga memikirkan aspek dan orang lain. Dengan kata lain, bijaksana dalam mengambil keputusan menuntut kematangan rohani dan mementingkan kepentingan orang lain.
Kepada para anak didik yang lebih dewasa, seperti mahasiswa/i, para pendidik/dosen Kristen harus lebih menekankan bagaimana bijaksana dalam mengambil keputusan yang tepat di saat mendesak. Hal ini penting, mengingat usia mereka yang cukup dewasa dan menuju ke jenjang karier dan pernikahan. Keputusan tersebut diambil bukan berdasarkan hikmat manusia saja, tetapi terlebih berdasarkan hikmat Allah yang melampaui hikmat manusia.
(2) Bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll
Selain bijaksana dalam mengambil keputusan, para pendidik Kristen juga harus mengajar para anak didik tentang bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll. Sebelum kita mengajar mereka untuk bijaksana mengelola waktu, keuangan, dll, terlebih dahulu kita mengajar mereka tentang konsep nilai. Ajarkanlah kepada mereka bahwa sesuatu memiliki nilai dan nilai itu ditentukan oleh Kebenaran Allah. Jika nilai sesuatu itu tinggi, belajarlah mengelola waktu dan keuangan demi mengejar nilai tersebut, sebaliknya jika nilai sesuatu itu rendah, tidak usah terlalu meributkan sesuatu tersebut. Setelah mengajar mereka tentang konsep nilai, maka ajarkan mereka bahwa waktu itu anugerah Allah bagi kita yang harus dipertanggungjawabkan. Lalu, ajarkanlah kepada mereka bagaimana mengatur waktu secara tepat dan menomersatukan hubungan pribadi dengan Allah sebagai aktivitas terpenting di dalam waktunya. Dari sini, kita melatih dan mendidik anak dari kecil untuk menTuhankan yang patut diperTuhankan di dalam hidup dan waktu yang dianugerahkan-Nya. Selain waktu, uang pun adalah anugerah Allah yang diberikan kepada kita untuk dipertanggungjawabkan. Sehingga, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk bijak mengelola uang Tuhan tersebut untuk kemuliaan-Nya. Caranya, ajarkan mereka untuk pertama-tama memberikan uang persembahan kepada Tuhan sebagai hal yang terpenting, baru sesudah itu untuk keperluan lain, seperti: sekolah, jajan, dan bermain.
Kepada para mahasiswa/i, tugas para pendidik/dosen Kristen lebih berat lagi, yaitu mendidik mereka untuk mempertanggungjawabkan uang dan waktu yang Tuhan berikan demi kemuliaan-Nya. Ini lebih tidak mudah, mengapa? Karena para mahasiswa/i yang sudah besar sulit diatur apalagi diarahkan untuk menomersatukan Tuhan. Bukan hanya sulit diatur, apalagi bagi para mahasiswa yang sudah/sedang berpacaran, Tuhan dijadikan ban serep, lalu pacar dijadikan hal terpenting, maka seorang mahasiswa bisa lebih rela mentraktir pacarnya hampir setiap hari di restoran mahal dan menyediakan waktunya untuk berkomunikasi dengan pacarnya daripada memberikan persepuluhan dan persembahan untuk pekerjaan Tuhan dan menyediakan waktu untuk saat teduh. Inilah tugas berat dari seorang pendidik Kristen yang harus mengajar para mahasiswa/i untuk bijaksana dalam mengelola waktu dan keuangan. Caranya, sadarkan mereka apalagi mereka yang sedang berpacaran untuk lebih memikirkan masa depan ketimbang masa sekarang. Jika di masa sekarang, mereka tidak bisa mengelola waktu dan keuangan, maka bagaimana mungkin di masa depan mereka bisa bertahan apalagi nantinya menikah yang membutuhkan dana yang tidak murah. Oleh karena itu, ajarkan mereka untuk bijaksana dalam mengelola keuangan, salah satunya adalah hemat dan menabung, lalu bijaksana juga dalam mengelola waktu dengan tidak membuang-buang waktu untuk aktivitas yang tidak perlu.

c) Mengajar bertanggungjawab
Selain mengajar bijaksana, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didiknya untuk bertanggungjawab. Dari kecil, ajarkan kepada mereka untuk selalu mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka pikirkan, katakan, dan lakukan. Caranya, setelah seorang anak kecil selesai berkata sesuatu dan ada perkataannya yang salah, seorang guru Kristen yang beres harus segera menegur anak itu yang berkata salah. Jangan pernah sungkan atau malu menegur kesalahan anak, karena itu adalah hal penting. Jangan meniru pola pendidikan Montessori (berakar dari filsafat Tabula Rasa yang dicetuskan oleh J. J. Rouseau) yang mengajar bahwa setiap anak itu dilahirkan baik dan guru dibutuhkan untuk membentuk karakter anak itu lebih baik lagi. Itu bukan Kristen! Ketika dari kecil, guru Kristen tidak mau menegur kesalahan seorang anak, maka anak itu tidak tahu mana yang benar dan salah sampai anak itu bertumbuh dewasa. Jika demikian, yang patut disalahkan selain orangtuanya adalah gurunya juga. Para pendidik Kristen dituntut untuk tidak meniru format pendidikan dunia, karena Kekristenan mengajar hal yang berbeda total dari format pendidikan dunia khususnya dalam hal ini, di mana Tuhan Yesus mengajar, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat. 5:37) Yakobus mengutip kembali pengajaran Tuhan Yesus ini di dalam Yakobus 5:12.
Kepada para mahasiswa/i, para pendidik Kristen lebih berat lagi dalam tugasnya mengajar hal ini. Mengapa? Karena seorang anak didik yang sudah besar sulit diajar untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu, apalagi di era postmodern di mana cuek-isme dijunjung tinggi (pragmatis). Meskipun berat, para pendidik Kristen tetap harus mengajar para mahasiswa/i untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu, sehingga di kemudian hari, mereka bisa hidup lebih dewasa lagi. Bagaimana caranya? Ketika ada seorang mahasiswa/i yang etikanya tidak beres di sebuah kelas, dosen Kristen yang beres harus menegurnya. Sayangnya, hal ini jarang kita jumpai lagi, apalagi di sebuah kampus “Kristen.” Jangankan ada dosen Kristen yang berani menegur mahasiswanya, dosennya sendiri ada yang tidak beres. Saya sedih melihat sikap seorang dosen di kampus “Kristen” yang merokok sebelum kelas dimulai, padahal di kampus ini diberlakukan peraturan tidak boleh merokok. Untung saja, mungkin, tidak banyak mahasiswa yang melihat tindakan dosen ini.

d) Melatih anak untuk hidup susah
Hal terakhir yang harus diajarkan oleh para pendidik Kristen adalah melatih para anak didik untuk hidup susah. Artinya ajarkan kepada mereka untuk memiliki mental yang lebih mandiri, yaitu berani menyangkal diri dan mencari jalan keluar sendiri ketika ada masalah. Contohnya, jika ada seorang anak didik yang bertanya tentang hal-hal yang sudah diajarkan sejak lama kepada gurunya, seorang guru Kristen tidak perlu terus menjawab pertanyaan tersebut. Ajari mereka untuk mencari jawaban sendiri misalnya dengan bertanya kepada teman atau memikirkan sendiri jawabannya.
Kepada para mahasiswa/i, para dosen Kristen harus melatih mereka untuk hidup susah juga. Tetapi tentu ini adalah tugas yang lebih sulit lagi, mengingat jika dosen Kristen ini mengajar di kampus swasta di mana banyak mahasiswanya naik mobil sendiri. Meskipun sulit, para dosen Kristen harus mengajar para mahasiswa/i untuk menyangkal diri dan mencari jalan keluar sendiri ketika ada masalah. Misalnya, latihlah mereka tentang logika dan bagaimana berpikir logis ketika ada masalah. Selain itu, latihlah mereka untuk mengerjakan pekerjaan yang sulit dan kotor, sehingga mereka terbiasa untuk hidup tidak terlalu enak-enakan. Anak yang sudah terbiasa mengerjakan sesuatu yang sulit dan kotor, anak itu akan lebih memiliki ketahanan yang kuat ketika nantinya harus mengalami kesusahan hidup yang lebih berat. Sayangnya, banyak mahasiswa yang tidak mampu menghadapi kesulitan hidup dikarenakan mereka dari kecil tidak diajar untuk berani susah. Bukan hanya mahasiswa, seorang hamba Tuhan pun sampai sekarang tidak berani susah, dalam arti jijik melihat sesuatu yang kotor, bahkan saya sendiri melihat di jok mobilnya ditutupi dengan alas surat kabar supaya tidak kotor. Waduh, kalau hal-hal sepele begini saja sudah seperti itu, bagaimana dia bisa berperang menghadapi kesulitan hidup?
3. Mendidik untuk Hidup Bersosialisasi
Setelah mendidik untuk mandiri, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk hidup bersosialisasi. Ini penting, supaya para anak didik Kristen tidak hanya diajar untuk berani mandiri, tetapi juga untuk berani berbagi hidup dengan temannya dan orang lain. Bagaimana caranya?
a) Mengajar pentingnya peranan orang lain
Poin dasar untuk mengajar para anak didik untuk hidup bersosialisasi adalah mengajar mereka pentingnya peranan orang lain, terutama teman dan orangtua. Ajarkan mereka bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial. Ini bukan hanya belajar PPKn atau pelajaran Pancasila, tetapi ini mengarahkan mereka untuk belajar menerima teguran, kritikan, dll dari orang lain yang membangun ketika mereka bersalah. Dari situlah, seorang anak didik Kristen sejak kecil menerima realitas bahwa orang lain itu berperan di dalam hidupnya. Lalu, setelah dewasa, ia tidak akan hidup egois lagi. Tetapi, sayangnya, dunia postmodern sangat tidak menyukai kritikan yang membangun, karena bagi mereka, itu menghakimi. Alhasil, tidak usah heran, banyak pemuda/i dan orang dewasa/tua Kristen ketika ditegur dosanya, mereka akan marah-marah, apalagi orang yang sudah tua ketika ditegur, mereka akan balik memarahi kita yang menegurnya lalu mengatakan bahwa kita kurang ajar berani mengajari orang tua. Semuanya itu disebabkan karena tidak adanya pendidikan tentang bagaimana hidup bersosialisasi dengan orang lain.



b) Mengajar untuk memperhatikan orang lain
Setelah diajar mengenai pentingnya peranan orang lain, para anak didik Kristen harus diajar juga untuk memperhatikan mereka. Artinya, kita bukan memanfaatkan peranan orang lain itu demi keuntungan kita. Kita dituntut untuk memperhatikan orang lain. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk segera tanggap ketika ada temannya yang sakit atau membutuhkan bantuan. Ketika anak dari kecil diajar demikian, maka saat dewasa pun, anak ini akan memperhatikan orang lain bahkan mereka yang lebih menderita.

c) Mengajar untuk berbagi berkat kepada orang lain
Wujud dari memperhatikan orang lain adalah dengan berbagi berkat kepada orang lain. Inilah tugas para pendidik Kristen di dalam mengajar para anak didik mereka. Didiklah mereka dari kecil untuk berbagi berkat kepada orang lain. Bagaimana caranya? Caranya adalah mendidik anak kecil untuk berbagi bekal makanan yang mereka bawa dari rumah kepada temannya. Hal ini mendidik anak kecil agar hidupnya tidak egois. Nanti, setelah beranjak dewasa, yaitu pada waktu mahasiswa/i, coba didik mereka bukan hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi hidup, pengetahuan, dan pengalaman, terutama mengenai iman dan karakter kepada orang lain, sehingga orang lain diberkati melalui sharing mereka. Jika ada teman mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugasnya, maka para mahasiswa/i dituntut untuk membantu meringankan kesulitan itu, mungkin dengan mengajari temannya yang belum mengerti itu. Ketika kita berbagi berkat kepada orang lain, selain orang lain diberkati, kita pun dikuatkan. Semakin kita banyak membantu mengajari teman yang belum mengerti, selain teman kita yang diberkati, kita pun juga mendapat banyak berkat yaitu bertambahnya ilmu yang kita kuasai. Saya bukan sekadar berteori, saya sudah menjalankannya dan telah mendapat banyak berkat dengan banyak sharing kepada orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar