Kamis, 14 Februari 2013

konseling


Diancam Oleh Pacar Posesif
>>> gw cowok sedang lanjutin kuliah s2 di salah satu universitas swastadi jakarta, gw ada masalah yang sangat mengganggu kehidupan gw sebagai mahasiswa. gw punya pacar yang sangat posesif dan egois banget, setiap saat dia senggang gw harus sama doi, tapi kalau gw lagi sibuk n gak bisa untuk sama dia, dia bakal marah2,maki2,bahkan cenderung mengancam kalau dia bakal samperin gw (di kampus misalnya) dan akan mempermalukan gw!! hal ini udah sering doi buktikan, sampai akhirnya gw mesti bersikap nurut2 aja ama doi,,
oya,do udah bekerja di salah satu departemen di jakarta, tapi doi emang gak mau bertemen ama temen2nya…
gw udah berkali2 omongin hal ini ke doi secara baik2, tapi tetep aja, paling tobat sehari atau dua hari, selesai itu ngulah lagi…
gw udahjuga minta putus, tapi doi gak mau, dia ngancem bakal ngerusak masa depan gw kalo bikin dia sakit hati dengan cara diputusin…
gw pusing, malah lama2 gw bisa stres kalo mikir hal ini. parahnya gw takut hal ini ngeganggu kuliah gw…
tolong kasih gw solusi ya…pleaze…:->> Saudara Imam yang lagi pusing,
Jangan sampai stress ya. Sebetulnya masalah ini bisa dipecahkan jika Saudara memahami apa yang sedang terjadi.
Dari cerita Saudara, sepertinya Saudara sedang menjadi korban emotional blackmail yang dilakukan oleh pacar saudara. Dalam kasus ini terdapat tiga unsur, yaitu:
1.      Fear: sang pacar menimbulkan rasa takut dalam diri Saudara dengan ancaman
2.      Guilt: Saudara merasa berdosa jika menolak keinginan sang pacar
3.      Obligation: akhirnya Saudara memenuhi apa yang dia inginkan
Kira-kira beginilah yang terjadi:
1.      Pacar Saudara meminta sesuatu (ingin selalu ditemani)
2.      Saudara menolak
3.      Pacar Saudara membujuk dan mengancam Saudara
4.      Karena takut atau merasa bersalah jika menolak, Saudara memenuhi kehendaknya
5.      Kembali ke nomor (1)Siklus ini akan berulang terus karena pacar Saudara menyadari bahwa dengan mengancam Saudara dia akan mendapat apa yang dia inginkan. Saya bisa perkirakan bahwa Saudara pastilah orang yang memiliki empati tinggi, sehingga tidak tega untuk meninggalkan pacar Saudara. Apalagi menurut pengakuannya dia tidak berteman dengan teman-teman di departemennya. Tentu Saudara jadi makin “kasihan” dan susah untuk memutus hubungan. Sekarang solusinya ada di tangan Saudara sendiri. Ketahuilah bahwa siklus seperti ini akan selalu berulang. Jadi, Saudara akan selalu diancam, dan pada akhirnya Saudara akan mengikuti segala kehendaknya. Mampukah Saudara bertahan? Apakah Saudara menerima perlakuan seperti ini? Sebetulnya, mengapa Saudara memilih untuk pacaran dengannya?
Jika hati Saudara sudah bulat untuk melepaskannya, maka katakan “putus” sekarang juga dan hadapi segala konsekuensinya. Sang pacar mengancam akan “menghancurkan masa depan” Saudara? Bagaimana caranya? Saya rasa Saudara akan baik-baik saja.
Jika Saudara masih ingin tetap bersamanya, tetapi tidak bisa menerima sifat posesifnya, saya sarankan Saudara berdua melakukan konsultasi rutin dengan psikolog (bertemu langsung, bukan online seperti ini). Masalah ini timbul karena pacar Saudara saat ini merupakan orang yang insecure.
>>> Naaah…contoh di atas termasuk kedalam jenis konsultasi psikologi online yang diambil dari internet..
Siapa saja yang punya masalah kejiwaan dan ingin curhat atau konsultasi tinggal menulis dan mengirimkan keluh-kesahnya via halaman web psikologi. Lalu para pengunjung lain bisa memberikan saran dan masukan. Dari dialog online itu mungkin akan ditemukan solusi bagi si pengirim.
mereka yang menderita gangguan jiwa bisa mengungkapkan keluh-kesah dan gejolak perasaannya dengan leluasa tanpa dibebani rasa malu atau khawatir pada apa yang akan dikatakan orang lain tentang derita jiwa mereka, Karena tak ada yang tahu identitas mereka yang sebenarnya.
,,”,, Setiap manusia pasti berkenalan dengan masalah, konflik dan situasi/kejadian yang tidak menyenangkan terkait dengan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitar. Hal ini merupakan hal yang wajar sebagai suatu tahapan dari pengalaman hidup dan perkembangan diri seseorang. Oleh karena itu, kita semua pasti mengalami atau memiliki saat-saat dimana diri kita merasa down (sedih, kecewa, tidak bersemangat, stres, depresi dll) ataupun malah sebaliknya merasa takut, cemas, terlalu bersemangat dll.
Banyak kejadian-kejadian dalam hidup ini yang dapat maupun tidak dapat dihindari yang membuat kita merasakan hal-hal seperti diatas. Ada kalanya pula kita dapat mengatasi masalah atau perasaan tersebut dengan baik namun ada kalanya dimana kita merasa stuck, bingung, cemas tanpa tahu harus mengadu kemana dan berfikir bahwa tidak ada seorang pun yang dapat membantu.
,,”,, Konseling/konsultasi merupakan salah satu cara yang tepat untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan-permasalahan dalam hidup. Konseling membantu kita untuk mengidentifikasi masalah, mencari solusi atau alternatif yang tepat dan menyadarkan akan adanya potensi dari setiap manusia untuk dapat mengatasi berbagai permasalahannya sendiri.
Ada beberapa keuntungan yang bisa di dapat dengan melakukan konseling/konsultasi, diantaranya :
• Menurunkan / menghilangkan stress
• Membuat diri kita merasa lebih baik, bahagia, tenang dan nyaman
• Lebih memahami diri sendiri dan orang lain
• Merasakan kepuasan dalam hidup
• Mendorong perkembangan personal
• Meningkatkan hubungan yang lebih efektif dengan orang lain
• Memaksimalkan fungsi diri dan kehidupan kita sehari-hari
• Mengangkat semangat diri
,,”,, Disadari atau tidak pada dasarnya setiap manusia memiliki kekuatan dan banyak hal-hal positif dalam dirinya. Webkonseling menyadari bahwa setiap orang tidak terlepas dari masalah dan berharap dapat membantu kita semua untuk melewati permasalahannya dengan lebih baik dan positif sehingga dapat memberikan dampak yang lebih baik pula pada diri kita masing-masing.

TGS DI PRINT


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih pelindungannya yang menyertaikita dalam kegiatan dan tindakan kita sehari – hari.
Dalam makala ini kita membahas bagaimana peranan Ilmu Theologia dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Kristen di Sekolah. Sebelum kita masuk dalam pembahasan kita harus mengetahui dasar dari pokok pembahsan. Berbicara mengenai ilmu, berarti kita membicarakan “sesuatu” yang sifatnya multidisipliner. Salah satunya adalah Teologi sebagai Ilmu. Berbicara mengenai Teologi sebagai Ilmu, merupakan hal yang “gampang-gampang, susah” maksudnya kita dituntut harus cermat dalam mengembangkan pemikiran tersebut, karena pada “pembuktiannya” kita akan diperhadapakan dengan berbagai multidisipliner ilmu. Sehingga “secara tidak langsung” menuntut kepada kita untuk dapat mempertanggungjawabkan ilmu yang kita pahami/”dalami” untuk mendapatkan pengkuan bahwa teologi itu dapat disebut sebagai ilmu.
Namun demikian dalam pembuktiannnya kita jangan melepaskan peranan serta iman kita. Sebab ketika kita melepaskan peranan di sekolah  serta iman kita kepada Yesus Kristus maka kita tidak dapat memahami apa yang sesungguhnya kita cari (dalam hal ini teologi sebgai ilmu). Tulisan ini, akan memuat tentang Pengenalan Singkat Mengenai Sejarah Ilmu;  Ilmu Pengetahuan, Teologi dan Iman; pada bagian akhir tulisan ini dikemukakan suatu kesimpulan  tentang teologi sebagai ilmu. Oleh karena itu penulis optimis bahwa tulisan singkat berikut ini, “setidaknya” dapat memberikan wawasan tentang teologi sebagai ilmu, bagi sidang pembaca.



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................   1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................  2
BAB I                                                                                                                                     
PEDAHULUAN
BAB II
PERANAN ILMU TEOLOGIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN SMK NUSA PENIDA MEDAN
1.      Mengajar dan Mendidik Iman Kristen Sejak Kecil
2.      Mendidik untuk Hidup Bersosialisasi
3.      Membentuk Kemandirian
BAB III
KESIMPULAN






BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan kedua yang harus diperhatikan adalah pendidikan sekolah dan gereja. Setelah keluarga mendidik anak-anak kecil, maka tugas kedua yang harus mendidik anak tersebut adalah sekolah. Saya menggabungkan dua elemen ini, yaitu sekolah, karena sekolah Kristen yang beres TIDAK bisa dilepaskan dari peran gereja di mana anak itu beribadah.
Tetapi sayang, di era postmodern yang serba relatif, sekolah “Kristen” pun relatif dan tidak ada kaitannya dengan gereja, bahkan dengan Kekristenan secara teori maupun praktis. Akibatnya, satu sekolah “Kristen” di Surabaya bisa didukung oleh berbagai denominasi gereja, tetapi herannya tidak pernah mengajar anak dari kecil untuk menggumuli panggilan hidupnya di hadapan Tuhan.
Sungguh ironis! Sudah saatnya sekolah-sekolah Kristen bertobat dari dosa-dosa mereka di zaman dahulu maupun sekarang. Sekolah Kristen dan gereja harus bersama-sama menggarap anak-anak didik Kristen dari kecil untuk memiliki hati seorang hamba yang taat kepada Allah sebagai Tuhannya. Itulah kedewasaan sejati yang Tuhan inginkan. Lalu, bagaimana mendidik kedewasaan kepada anak di lingkungan sekolah Kristen dan gereja? Prinsipnya sama seperti pendidikan yang dilakukan oleh orangtua, tetapi aplikasinya agak sedikit berbeda.


BAB II
PERANAN ILMU TEOLOGIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
SMK NUSA PENIDA MEDAN
1.      Mengajar dan Mendidik Iman Kristen Sejak Kecil
Tugas para pendidik Kristen yang terutama adalah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil kepada para anak didik mereka. Iman Kristen bukan hanya menjadi bidang yang harus diajar oleh guru agama Kristen, tetapi seharusnya diajar oleh semua guru bidang apa saja.
Dengan kata lain, pendidik Kristen harus menguasai banyak bidang termasuk theologi dan iman Kristen. Nah, agar para pendidik Kristen menguasai bidang theologi, tentu, mereka harus belajar Alkitab dan theologi terlebih dahulu (meskipun tidak harus bergelar akademis di bidang theologi). Lalu, apa tujuan para pendidik Kristen menguasai theologi untuk mengajar para anak didik mereka tentang iman Kristen?
a) Mengarahkan arti dan panggilan hidup: memuliakan Tuhan
Tujuan pertama yaitu untuk mengarahkan para anak didik akan pentingnya arti dan panggilan hidup masing-masing pribadi yaitu memuliakan Tuhan. Ada dua hal: arti dan panggilan hidup. Belajarlah hai para pendidik Kristen untuk mengajar dan mendidik dari kecil bahwa arti hidup mereka TIDAK ditentukan oleh diri mereka sendiri, dll, tetapi oleh Tuhan Allah yang menciptakan mereka. Dari kecil, ajarkanlah konsep penciptaan kepada anak-anak, sehingga mereka dari kecil mengerti bahwa hidup mereka baru memiliki arti ketika mereka kembali kepada Pencipta mereka.
Jika mereka dari kecil sudah mengerti hal ini, percayalah, ketika mereka dewasa, mereka tidak akan lagi kebingungan akan arah dan arti hidup mereka. Selain tentang konsep penciptaan, kita sebagai para pendidik Kristen perlu mengajar mereka tentang konsep dosa dan penebusan. Setelah Allah menciptakan manusia, manusia memberontak dan melawan-Nya, itulah dosa. Ajarkanlah bahwa dosa bukan sekadar membunuh, mencuri, dll, tetapi inti dosa adalah melawan ketetapan-Nya. Ajarkanlah pula bahwa sebagai pendidik Kristen pun jika kita melawan ketetapan-Nya, kita tetap berdosa. Ajarkan kepada mereka bahwa dosa itu tidak bisa diselesaikan oleh manusia siapa pun, kecuali oleh Tuhan Allah. Karena kasih-Nya, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. IA mati di salib demi menggantikan dosa-dosa kita.
Tentu, ketika kita mengajar konsep dosa dan penebusan, kita tidak perlu memakai bahasa-bahasa tingkat theolog, tetapi kita bisa memakai bahasa-bahasa yang sederhana dan alat-alat peraga yang memadai supaya anak-anak dari kecil bisa mengerti. Berarti, di dalam sekolah Kristen, mandat penginjilan tidak bisa dilepaskan dari ilmu.
Sekolah Kristen yang tidak lagi memberitakan Injil, patutkah sekolah itu disebut sekolah yang menyandang nama “Kristen”? Setelah mengajar dan mendidik konsep penciptaan, dosa, dan penebusan, kita sudah mulai menanamkan konsep dasar iman Kristen yang mengakibatkan anak dari kecil sudah tahu bahwa Allah mencipta mereka (bukan berdasarkan teori evolusi bahwa manusia ada dari monyet yang berevolusi), bahwa mereka berdosa dengan melawan ketetapan-Nya (bukan konsep bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa), dan bahwa mereka sudah ditebus oleh Kristus (bukan konsep bahwa mereka bisa diselamatkan dengan sendirinya melalui jasa, dll).
Poin kedua yang harus kita mengerti selain arti hidup, yaitu tentang panggilan hidup. Setelah diajar dan dididik tentang arah hidup yang berpaut kepada Allah sebagai Pencipta, lalu diajar tentang dosa dan penebusan di dalam Kristus, anak-anak perlu diajar dan dididik juga tentang respons mereka akan apa yang sudah Allah perbuat bagi mereka yaitu panggilan hidup mereka dari Allah.
Karena mereka telah dicipta dan ditebus oleh Kristus, maka sudah seharusnya para pendidik Kristen harus mengajar anak-anak didik mereka untuk HANYA menaati apa yang menjadi panggilan Allah bagi setiap pribadi mereka yang unik. Jangan  pernah membiarkan mereka memiliki ambisi pribadi sendiri, tetapi ajarkan kepada mereka untuk menggumuli panggilan Allah bagi hidupnya sejak kecil melalui talenta yang Ia percayakan kepada masing-masing anak secara berbeda. Ini bukan sekadar teori, tetapi harus kita aplikasikan.
Panggilan Allah ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang menyerahkan diri secara penuh waktu menjadi hamba Tuhan, tetapi juga bagi kita yang melayani Tuhan “di dunia luar.” Artinya, di dalam pekerjaan mana yang harus kita geluti pun, Tuhan memanggil setiap kita berbeda berdasarkan talenta yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing SECARA BERBEDA.
Mandat kita hanya satu yaitu memuliakan Tuhan sesuai dengan talenta yang Tuhan percayakan kepada kita. Sebagai para pendidik Kristen, kita harus menyadarkan anak didik kita sejak kecil tentang talenta yang Tuhan berikan kepadanya untuk nantinya mereka perkembangkan.

b) Mengarahkan motivasi hidup
Selain arti dan panggilan hidup, para pendidik Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi. Artinya, para pendidik Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi sebelum para anak didik mereka melakukan segala sesuatu. Ketika mereka mau bertindak sesuatu, mereka harus diajar bagaimana memiliki motivasi yang murni terlebih dahulu, sehingga ketika mereka bertindak, bukan kehendak mereka yang diutamakan, tetapi kehendak Tuhan.
Di sini, perlu kepekaan rohani yang tinggi dari para pendidik Kristen. Sebelum mengajar anak-anak mereka, hendaklah para pendidik Kristen terlebih dahulu mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup. Setelah mereka mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup, barulah mereka layak membimbing para anak didik mereka. Anak didik yang dari kecil sudah diajar dan dididik untuk memiliki motivasi yang murni ketika melakukan segala sesuatu, maka anak didik itu pasti tumbuh dewasa dengan beriman, berkarakter, dan bermental dewasa pula, bukan hanya secara fisiknya dewasa.
Adalah suatu kekonyolan jika ada pendidik Kristen yang tidak memiliki motivasi yang murni (misalnya, mereka mau menjadi guru, bukan karena panggilan menjadi guru, tetapi untuk mencari uang atau mencari pengalaman) berani mengajari para anak didik mereka untuk memiliki motivasi yang murni.
2.      Membentuk Kemandirian
Peran keluarga atau sering juga disebut dengan faktor guru PAK dan keluarga adalah merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap belajar siswa. Slamento [1], menyatakan bahwa siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa: cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga dan suasana rumah tangga. Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar anaknya. Hal ini jelas dan dipertagas oleh Sutjipto[2], yang menyatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga yang sehat besar artinya untuk pendidikan dalam ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia. Melihat pernyataan di atas, dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga di dalam pendidikan anaknya. Cara orang tua mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya. Disinilah bimbingan dan penyuluhan memegang peranan yang penting. Anak/ siswa mengalami kesukaran-kesukaran dapat ditolong dengan memberikan bimbingan yang sebaik-baiknya. Tentu saja keterlibat orang tua akan sangat mempengaruhi keberhasilan bimbingan tersebut. Demi kelancaran belajar dan keberhasilan anak, perlu diusahakan relasi yang baik di dalam keluarga anak tersebut. Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk mensuksekan belajar anak itu sendiri. Lebih lanjut Syah menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial[3]. Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi belajar siswa antara lain faktor atau peran keluarga. Lingkungan keluarga sangat mempengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orang tua, serta pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga, orang tua dan anak yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa faktor atau peranan keluarga sangat berpengaruh dalam kegiatan belajar atau kemandirian belajar siswa. menyatakan bahwa siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari guru PAK berupa: cara guru mendidik, relasi dalam linkungan belajar.
Cara orang tua dalam keluarga  mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar anaknya. Hal ini jelas dan dipertagas oleh Sutjipto, yang menyatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga yang sehat besar artinya untuk pendidikan dalam ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia. Melihat pernyataan di atas, dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga di dalam pendidikan anaknya. Cara orang tua mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya. Disinilah bimbingan dan penyuluhan memegang peranan yang penting. Anak/ siswa mengalami kesukaran-kesukaran dapat ditolong dengan memberikan bimbingan yang sebaik-baiknya. Tentu saja keterlibat orang tua akan sangat mempengaruhi keberhasilan bimbingan tersebut. Demi kelancaran belajar dan keberhasilan anak, perlu diusahakan relasi yang baik di dalam keluarga anak tersebut.
Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk mensuksekan belajar anak itu sendiri. Lebih lanjut Syah menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial. Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi belajar siswa antara lain faktor atau peran keluarga. Lingkungan keluarga sangat mempengaruhi kegiatan belajar.
Ketegangan keluarga, sifat-sifat orang tua, serta pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga, orang tua dan anak yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa faktor atau peranan keluarga sangat berpengaruh dalam kegiatan belajar atau kemandirian belajar siswa.
Setelah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil, para pendidik Kristen harus membentuk kemandirian para anak didik mereka. Ini adalah wujud kedewasaan eksternal yang diaplikasikan di dalam wilayah pendidikan Kristen dalam sekolah dan gereja. Membentuk kemandirian tidak berarti kita mengajar mereka individualis, tetapi mengajar dan mendidik para anak didik untuk hidup berdikari (sambil tetap bersosialisasi). Apa yang perlu diperhatikan untuk membentuk kemandirian tersebut?


a) Mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu
Setelah mengajar tentang arti, panggilan, dan motivasi hidup secara Kristiani, para pendidik Kristen harus mengajar hal-hal lain, misalnya: etika, moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu lain. Ini untuk membentuk keseimbangan antara pengertian iman dengan kehidupan sehari-hari sebagai wujud aplikasinya.
Banyak pendidik “Kristen” yang melupakan aspek pengajaran iman dan hanya menekankan aspek pendidikan kognitif semata, akibatnya, sampai dewasa, anak-anak mereka tidak memiliki iman yang beres. Pendidikan kognitif (akademis) tanpa iman akan menciptakan para bajingan, penipu, dan teroris masa depan, karena tidak dibarengi dengan pengertian iman, etika, moralitas, dan karakter.
Oleh karena itu, sudah seharusnya para pendidik Kristen mengajar iman Kristen terlebih dahulu kepada anak-anak mereka, baru setelah itu hal-hal lain, seperti: etika, moralitas, karakter, dll, sehingga struktur pikiran para anak didik Kristen dari kecil mulai terbentuk mulai dari takut akan Tuhan, lalu mulai menguasai banyak hal untuk memuliakan-Nya. Hal-hal itulah yang akan kita uraikan di sini.
*      Mengajar etika dan moralitas
Setelah mengajar iman, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka dengan etika dan moralitas. Etika dan moralitas berbicara mengenai apa yang baik dan tidak yang berkaitan dengan nilai hidup. Etika dan moralitas dipelajari bukan karena kita adalah orang Timur. Alkitab sudah mengajar hal ini.
Etika dan moralitas Alkitabiah adalah etika dan moralitas yang theosentris, itulah yang kita taati. Sedangkan etika-etika dan moralitas duniawi yang MELAWAN Alkitab tidak boleh kita taati. Hal ini tidak berarti kita anti-duniawi. Yang saya maksud adalah jika ada etika-etika (dan moralitas) sekuler yang tidak melawan Alkitab, kita ikuti, tetapi yang melawan Alkitab, hal tersebut tidak boleh kita ikuti. Dengan kata lain, saya menggabungkan 2 macam etika dan moralitas: Alkitabiah dan duniawi.
Etika dan moralitas berbicara mengenai apa yang baik dan tidak yang berkaitan dengan nilai hidup. Etika dan moralitas dipelajari bukan karena kita ini adalah orang Timur, melainkan karena Alkitab sudah mengajarkannya. Etika dan moralitas Alkitabiah adalah etika dan moralitas yang theosentris, itulah yang kita taati. Sedangkan etika-etika dan moralitas duniawi yang MELAWAN Alkitab tidak boleh kita taati. Hal ini tidak berarti kita anti-duniawi. Yang penulis maksud adalah jika ada etika-etika (dan moralitas) sekuler yang tidak melawan Alkitab, kita ikuti, tetapi yang melawan Alkitab, hal tersebut tidak boleh kita ikuti.
Sebagai contoh, Etika dan moralitas Alkitabiah mengajarkan untuk menghormati orangtua (Kel. 20:12). Hal yang mirip juga diajarkan oleh etika dunia Timur khususnya dari filsafat Tionghoa yang menganut kepercayaan Budha dan Kong Hu Cu. Tetapi bedanya, filsafat Tionghoa tentang menghormati orangtua itu diekstrimkan, sehingga menghormati orangtua tidak ada bedanya dengan menyembah orangtua. Tidak heran, ketika orangtua meninggal, anak-anak mereka (bahkan ada yang sudah “Kristen”) masih ikut-ikutan sembahyang di depan foto orangtua mereka, bahkan ada yang membeli roti, mobil-mobilan, dan hal-hal lain untuk diletakkan di depan foto orangtua mereka.
Alkitab mengajar kita untuk menghormati orangtua, bukan untuk menyembah orangtua. Menghormati orangtua dilakukan ketika orangtua masih hidup, bukan ketika orangtua sudah meninggal. Ketika orangtua kita meninggal, lalu kita sembahyang, itu tandanya kita tidak lagi menghormati, tetapi sudah menyembah, karena yang kita hormati sudah meninggal. Dan lagi, Alkitab mengecam keras bahwa barangsiapa yang menyembah ilah-ilah lain di luar Allah, mereka akan dihukum Allah sampai keturunan yang ketiga dan keempat (Kel. 20:4-5).
Etika Alkitabiah adalah wahyu khusus dari Allah (yang 100% benar), sedangkan etika duniawi adalah respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah (yang bisa benar dan bisa salah). Kepada anak didik yang masih kecil, para pendidik Kristen harus bijaksana mengajar etika dan moralitas dengan cara yang mudah dimengerti. Misalnya, mengajar mereka agar tidak berbohong, tidak mencuri, dll bukan dengan menakuti-nakuti mereka, tetapi dengan mendorong mereka melakukannya sebagai respons cinta mereka kepada Tuhan dan perintah-perintah-Nya.
 Ini yang membedakan etika Alkitabiah dengan etika duniawi. Kalau dunia mengajar anak dari kecil untuk tidak berbohong, tidak mencuri, dll sebagai suatu perintah yang menakutkan, tetapi etika Kristen yang Alkitabiah mengajarkan bahwa kita melakukan semuanya itu sebagai respons kita mengasihi-Nya dan firman/perintah-Nya (1Yoh. 5:3).
Lalu kepada para siswa/i sekolah, para pendidik Kristen bisa meningkatkan kualitas dalam mendidik mereka agar memiliki etika. Saya baru mengikuti Seminar: Etos Kerja Kristen dan Pengelolaan Finansial Keluarga di gereja.
*      Mengajar karakter
Setelah selesai mengajar etika dan moralitas, para pendidik Kristen harus mengajar karakter kepada para anak didik mereka. Karakter ini berbicara mengenai sifat, kepribadian, dll dari seorang manusia. Nah, masalahnya adalah manusia sering menyembunyikan karakter mereka, seolah-olah mereka itu baik, apalagi kalau di gereja. Karakter kita akan nampak jelas ketika kita berhadapan dengan kesulitan.
Orang yang memiliki karakter dewasa ketika menghadapi kesulitan, ia tidak mudah mengomel/bersungut-sungut atau meminta orang lain memperhatikan dirinya, tetapi orang yang karakternya dewasa akan berusaha menahan dan menyangkal diri di dalam kesulitan itu, lalu berusaha mencari jalan keluarnya serta berharap kepada Tuhan. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk memiliki karakter Kristen yang dewasa, yaitu dengan:
Pertama, belajar menyangkal diri di dalam kesulitan. Ketika ada kesulitan menghimpit, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk tidak membicarakannya kepada teman-temannya terlebih dahulu, melainkan harus menyangkal diri. Mereka harus diajar untuk memecahkan masalah itu sendiri, sambil mengajar mereka untuk berserah kepada Tuhan di dalam doa. Jika memang masalah itu tidak bisa diatasi oleh para anak didik tersebut, mereka boleh mensharekan kepada temannya agar temannya bisa membantu mencari jalan keluarnya.
Kedua, belajar memperhatikan orang lain. Di dalam kesulitan dan dalam segala hal, biasakan untuk tidak mencari perhatian dari orang lain, tetapi justru memberi perhatian kepada orang lain. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk tidak terus mencari perhatian dari temannya ketika mereka menghadapi masalah, tetapi justru ajari mereka untuk memperhatikan temannya yang mengalami masalah lebih berat dari dirinya. Hal ini mengajar mereka agar tidak egois.
Ketiga, belajar tidak memiliki kepribadian ganda. Setelah belajar memperhatikan orang lain, kita harus belajar juga untuk tidak berkepribadian ganda. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk tidak berkepribadian ganda atau munafik. Caranya adalah dengan memiliki ketulusan dan kasih. Kasih itu tidak berpura-pura/munafik/bertopeng (Rm. 12:9).
*      Mengajar ilmu-ilmu
Setelah mengajar etika dan moralitas ditambah karakter, para pendidik Kristen baru mengajar para anak didik mereka tentang ilmu-ilmu. Saya meletakkannya di urutan terakhir, karena ilmu memang adalah urutan terakhir setelah pembentukan iman, etika, moralitas, dan karakter.
Ilmu yang diajarkan oleh para pendidik Kristen ini pun harus dihakimi oleh iman dan etika Kristiani. Hal ini tidak berarti para pendidik Kristen hanya mengajar ilmu-ilmu yang cocok dengan iman Kristiani saja. Para pendidik Kristen harus mengajar semua ilmu, tetapi mereka harus jujur mengakui dan mengatakan kepada para anak didiknya tentang kesalahan suatu ilmu jika ilmu itu melawan iman Kristen.
Mengatakan kesalahan itu pun harus dengan bahasa yang sederhana, supaya para anak didik dari kecil sudah mengerti mana yang benar dan mana yang salah, lalu menunjukkan ketidakberesan yang salah itu. Kalau anak didik kita sudah beranjak remaja, dewasa, bahkan sudah mahasiswa/i, sebagai para pendidik Kristen, kita dituntut untuk lebih kritis lagi mengajar dan menghakimi semua ilmu sesuai dengan kebenaran Alkitab. Kita dituntut untuk berani mengatakan ilmu tertentu itu salah sambil menunjukkan ketidaklogisan dan ketidakberesan cara berpikir ilmu tertentu yang salah itu.


b) Mengajar bijaksana
Setelah mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu, para pendidik Kristen dituntut untuk mengajar para anak didik mereka tentang kebijaksanaan. Kepandaian dan akhlak itu perlu dan penting, tetapi harus disertai dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang harus diajarkan oleh para pendidik Kristen meliputi dua hal:

*      Bijaksana dalam mengambil keputusan
Sejak kecil, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk bijaksana dalam mengambil keputusan. Bagaimana caranya? Tentu dengan mengajar mereka konsep-konsep sederhana tentang bijaksana, lalu mengajar dan mengaitkan konsep bijaksana itu dengan Allah sebagai Sumber Bijaksana. Setelah itu, baru, mereka dididik untuk bijaksana dalam mengambil keputusan menurut kehendak dan pimpinan-Nya.
Apa yang dimaksud dengan bijaksana mengambil keputusan? Para pendidik Kristen harus mengajar kepada para anak didik bahwa bijaksana dalam mengambil keputusan itu adalah bijaksana dalam mengambil keputusan di saat tertentu bukan bertujuan untuk memikirkan diri sendiri, tetapi juga memikirkan aspek dan orang lain. Dengan kata lain, bijaksana dalam mengambil keputusan menuntut kematangan rohani dan mementingkan kepentingan orang lain.
Kepada para anak didik yang lebih dewasa, seperti mahasiswa/i, para pendidik/dosen Kristen harus lebih menekankan bagaimana bijaksana dalam mengambil keputusan yang tepat di saat mendesak. Hal ini penting, mengingat usia mereka yang cukup dewasa dan menuju ke jenjang karier dan pernikahan. Keputusan tersebut diambil bukan berdasarkan hikmat manusia saja, tetapi terlebih berdasarkan hikmat Allah yang melampaui hikmat manusia.



*      Bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll
Selain bijaksana dalam mengambil keputusan, para pendidik Kristen juga harus mengajar para anak didik tentang bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll. Sebelum kita mengajar mereka untuk bijaksana mengelola waktu, keuangan, dll, terlebih dahulu kita mengajar mereka tentang konsep nilai. Ajarkanlah kepada mereka bahwa sesuatu memiliki nilai dan nilai itu ditentukan oleh Kebenaran Allah.
Jika nilai sesuatu itu tinggi, belajarlah mengelola waktu dan keuangan demi mengejar nilai tersebut, sebaliknya jika nilai sesuatu itu rendah, tidak usah terlalu meributkan sesuatu tersebut. Setelah mengajar mereka tentang konsep nilai, maka ajarkan mereka bahwa waktu itu anugerah Allah bagi kita yang harus dipertanggungjawabkan. Lalu, ajarkanlah kepada mereka bagaimana mengatur waktu secara tepat dan menomersatukan hubungan pribadi dengan Allah sebagai aktivitas terpenting di dalam waktunya. Dari sini, kita melatih dan mendidik anak dari kecil untuk menTuhankan yang patut diperTuhankan di dalam hidup dan waktu yang dianugerahkan-Nya.
Selain waktu, uang pun adalah anugerah Allah yang diberikan kepada kita untuk dipertanggungjawabkan. Sehingga, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk bijak mengelola uang Tuhan tersebut untuk kemuliaan-Nya. Caranya, ajarkan mereka untuk pertama-tama memberikan uang persembahan kepada Tuhan sebagai hal yang terpenting, baru sesudah itu untuk keperluan lain, seperti: sekolah, jajan, dan bermain.
Kepada para mahasiswa/i, tugas para pendidik/dosen Kristen lebih berat lagi, yaitu mendidik mereka untuk mempertanggungjawabkan uang dan waktu yang Tuhan berikan demi kemuliaan-Nya. Ini lebih tidak mudah, mengapa? Karena para mahasiswa/i yang sudah besar sulit diatur apalagi diarahkan untuk menomersatukan Tuhan. Bukan hanya sulit diatur, apalagi bagi para mahasiswa yang sudah/sedang berpacaran, Tuhan dijadikan ban serep, lalu pacar dijadikan hal terpenting, maka seorang mahasiswa bisa lebih rela mentraktir pacarnya hampir setiap hari di restoran mahal dan menyediakan waktunya untuk berkomunikasi dengan pacarnya daripada memberikan persepuluhan dan persembahan untuk pekerjaan Tuhan dan menyediakan waktu untuk saat teduh.
Inilah tugas berat dari seorang pendidik Kristen yang harus mengajar para mahasiswa/i untuk bijaksana dalam mengelola waktu dan keuangan. Caranya, sadarkan mereka apalagi mereka yang sedang berpacaran untuk lebih memikirkan masa depan ketimbang masa sekarang. Jika di masa sekarang, mereka tidak bisa mengelola waktu dan keuangan, maka bagaimana mungkin di masa depan mereka bisa bertahan apalagi nantinya menikah yang membutuhkan dana yang tidak murah.
Oleh karena itu, ajarkan mereka untuk bijaksana dalam mengelola keuangan, salah satunya adalah hemat dan menabung, lalu bijaksana juga dalam mengelola waktu dengan tidak membuang-buang waktu untuk aktivitas yang tidak perlu.

c) Mengajar bertanggungjawab
Selain mengajar bijaksana, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didiknya untuk bertanggungjawab. Dari kecil, ajarkan kepada mereka untuk selalu mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka pikirkan, katakan, dan lakukan. Caranya, setelah seorang anak kecil selesai berkata sesuatu dan ada perkataannya yang salah, seorang guru Kristen yang beres harus segera menegur anak itu yang berkata salah.
Jangan pernah sungkan atau malu menegur kesalahan anak, karena itu adalah hal penting. Jangan meniru pola pendidikan Montessori (berakar dari filsafat Tabula Rasa yang dicetuskan oleh J. J. Rouseau) yang mengajar bahwa setiap anak itu dilahirkan baik dan guru dibutuhkan untuk membentuk karakter anak itu lebih baik lagi.
Itu bukan Kristen! Ketika dari kecil, guru Kristen tidak mau menegur kesalahan seorang anak, maka anak itu tidak tahu mana yang benar dan salah sampai anak itu bertumbuh dewasa. Jika demikian, yang patut disalahkan selain orangtuanya adalah gurunya juga. Para pendidik Kristen dituntut untuk tidak meniru format pendidikan dunia, karena Kekristenan mengajar hal yang berbeda total dari format pendidikan dunia khususnya dalam hal ini, di mana Tuhan Yesus mengajar, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat. 5:37) Yakobus mengutip kembali pengajaran Tuhan Yesus ini di dalam Yakobus 5:12.
Kepada para mahasiswa/i, para pendidik Kristen lebih berat lagi dalam tugasnya mengajar hal ini. Mengapa? Karena seorang anak didik yang sudah besar sulit diajar untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu, apalagi di era postmodern di mana cuek-isme dijunjung tinggi (pragmatis). Meskipun berat, para pendidik Kristen tetap harus mengajar para mahasiswa/i untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu, sehingga di kemudian hari, mereka bisa hidup lebih dewasa lagi.
Bagaimana caranya? Ketika ada seorang mahasiswa/i yang etikanya tidak beres di sebuah kelas, dosen Kristen yang beres harus menegurnya. Sayangnya, hal ini jarang kita jumpai lagi, apalagi di sebuah kampus “Kristen.” Jangankan ada dosen Kristen yang berani menegur mahasiswanya, dosennya sendiri ada yang tidak beres. Saya sedih melihat sikap seorang dosen di kampus “Kristen” yang merokok sebelum kelas dimulai, padahal di kampus ini diberlakukan peraturan tidak boleh merokok. Untung saja, mungkin, tidak banyak mahasiswa yang melihat tindakan dosen ini.

*       Melatih anak untuk hidup susah
Hal terakhir yang harus diajarkan oleh para pendidik Kristen adalah melatih para anak didik untuk hidup susah. Artinya ajarkan kepada mereka untuk memiliki mental yang lebih mandiri, yaitu berani menyangkal diri dan mencari jalan keluar sendiri ketika ada masalah. Contohnya, jika ada seorang anak didik yang bertanya tentang hal-hal yang sudah diajarkan sejak lama kepada gurunya, seorang guru Kristen tidak perlu terus menjawab pertanyaan tersebut. Ajari mereka untuk mencari jawaban sendiri misalnya dengan bertanya kepada teman atau memikirkan sendiri jawabannya.
Kepada para mahasiswa/i, para dosen Kristen harus melatih mereka untuk hidup susah juga. Tetapi tentu ini adalah tugas yang lebih sulit lagi, mengingat jika dosen Kristen ini mengajar di sekolah swasta di mana banyak siswanya naik mobil sendiri. Meskipun sulit, para guru Kristen harus mengajar para siswa/i untuk menyangkal diri dan mencari jalan keluar sendiri ketika ada masalah. Misalnya, latihlah mereka tentang logika dan bagaimana berpikir logis ketika ada masalah.


Selain itu, latihlah mereka untuk mengerjakan pekerjaan yang sulit dan kotor, sehingga mereka terbiasa untuk hidup tidak terlalu enak-enakan. Anak yang sudah terbiasa mengerjakan sesuatu yang sulit dan kotor, anak itu akan lebih memiliki ketahanan yang kuat ketika nantinya harus mengalami kesusahan hidup yang lebih berat. Sayangnya, banyak mahasiswa yang tidak mampu menghadapi kesulitan hidup dikarenakan mereka dari kecil tidak diajar untuk berani susah. Bukan hanya mahasiswa, seorang hamba Tuhan pun sampai sekarang tidak berani susah, dalam arti jijik melihat sesuatu yang kotor, bahkan saya sendiri melihat di jok mobilnya ditutupi dengan alas surat kabar supaya tidak kotor. Waduh, kalau hal-hal sepele begini saja sudah seperti itu, bagaimana dia bisa berperang menghadapi kesulitan hidup?



3.      Mendidik untuk Hidup Bersosialisasi
Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan.
Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut :
Ø  Formal
 Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
Ø  Informal
Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.
Dari kedua tipe sosialisasi tersebut, formal dan informal, kita lebih banyak mendapatkan tipe sosialisasi informal dalam kehidupan sehari-hari. Untuk sosialisasi formal, seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity).
Sedangkan informal, banyak bisa kita dapatkan dalam sosialisasi ini.Seperti Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu. Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
Setelah mendidik untuk mandiri, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk hidup bersosialisasi. Ini penting, supaya para anak didik Kristen tidak hanya diajar untuk berani mandiri, tetapi juga untuk berani berbagi hidup dengan temannya dan orang lain. Bagaimana caranya?
*      Mengajar pentingnya peranan orang lain
Poin dasar untuk mengajar para anak didik untuk hidup bersosialisasi adalah mengajar mereka pentingnya peranan orang lain, terutama teman dan orangtua. Ajarkan mereka bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial. Ini bukan hanya belajar PPKn atau pelajaran Pancasila, tetapi ini mengarahkan mereka untuk belajar menerima teguran, kritikan, dll dari orang lain yang membangun ketika mereka bersalah.
Dari situlah, seorang anak didik Kristen sejak kecil menerima realitas bahwa orang lain itu berperan di dalam hidupnya. Lalu, setelah dewasa, ia tidak akan hidup egois lagi. Tetapi, sayangnya, dunia postmodern sangat tidak menyukai kritikan yang membangun, karena bagi mereka, itu menghakimi. Alhasil, tidak usah heran, banyak pemuda/i dan orang dewasa/tua Kristen ketika ditegur dosanya, mereka akan marah-marah, apalagi orang yang sudah tua ketika ditegur, mereka akan balik memarahi kita yang menegurnya lalu mengatakan bahwa kita kurang ajar berani mengajari orang tua. Semuanya itu disebabkan karena tidak adanya pendidikan tentang bagaimana hidup bersosialisasi dengan orang lain.
*      Mengajar untuk memperhatikan orang lain
Setelah diajar mengenai pentingnya peranan orang lain, para anak didik Kristen harus diajar juga untuk memperhatikan mereka. Artinya, kita bukan memanfaatkan peranan orang lain itu demi keuntungan kita. Kita dituntut untuk memperhatikan orang lain. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk segera tanggap ketika ada temannya yang sakit atau membutuhkan bantuan. Ketika anak dari kecil diajar demikian, maka saat dewasa pun, anak ini akan memperhatikan orang lain bahkan mereka yang lebih menderita.

*      Mengajar untuk berbagi berkat kepada orang lain
Wujud dari memperhatikan orang lain adalah dengan berbagi berkat kepada orang lain. Inilah tugas para pendidik Kristen di dalam mengajar para anak didik mereka. Didiklah mereka dari kecil untuk berbagi berkat kepada orang lain. Bagaimana caranya? Caranya adalah mendidik anak kecil untuk berbagi bekal makanan yang mereka bawa dari rumah kepada temannya. Hal ini mendidik anak kecil agar hidupnya tidak egois.
Nanti, setelah beranjak dewasa, yaitu pada waktu mahasiswa/i, coba didik mereka bukan hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi hidup, pengetahuan, dan pengalaman, terutama mengenai iman dan karakter kepada orang lain, sehingga orang lain diberkati melalui sharing mereka. Jika ada teman mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugasnya, maka para mahasiswa/i dituntut untuk membantu meringankan kesulitan itu, mungkin dengan mengajari temannya yang belum mengerti itu.
Ketika kita berbagi berkat kepada orang lain, selain orang lain diberkati, kita pun dikuatkan. Semakin kita banyak membantu mengajari teman yang belum mengerti, selain teman kita yang diberkati, kita pun juga mendapat banyak berkat yaitu bertambahnya ilmu yang kita kuasai. Saya bukan sekadar berteori, saya sudah menjalankannya dan telah mendapat banyak berkat dengan banyak sharing kepada orang lain.



BAB III
KESIMPULAN
Ilmu teologi selalu menggumuli prihal kehidupan manusia yang konkrit dalam hubungan dengan Allah, dengan kata lain masalah inti yang harus “dipecahkan” dari teologi (teolog) ialah hal beriman. Beriman tidak dapat disamakan dengan menganggap benar isi Alkitab dan dogma-dogma gereja, Melaikan “beriman atau percaya” dirumuskan sebagai aktivitas hidup manusia termasuk di dalamnya aspek “eksistensinya”: badani, rohani, psikis dan sosial dalam hubungan akrab dengan Allah dan berorientasi kepadaNya. Hal inilah yang menjadi dasar pentingnya peranan Teologia dalam Pendidikan Agama Kristen dalam sekolah.
Kita juga dapat mengatakan bahwa; jika iman Alkitabiah tercapai, khususnya dalam penerapan pada keadaan seseorang yang sesuai gambaran Alkitabiah, maka tugas dari pada teolog adalah menghubungkan secara otentik satu dengan yang lain sebagaimana setiap orang mempelajari teologi dalam Sekolah dari sudut Alkitabiah dalam  peranan Teologia dalam Pendidikan Agama Kristen dalam sekolah.
Oleh karena itu, kita sebagai peran teolog harus mampu “mengekspresikan”/ berteologi dengan tepat dalam Pembelajaran. Dalam pelaksananya tentu harus memakai metode-metode penelitian termasuk penggabungan analisa dari bidang ilmu yang lainya, sambil tetap berorientasi pada Alkitab sebagai sumber utama.

TERIMAKASIH