KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat
dan kasih pelindungannya yang menyertaikita dalam kegiatan dan tindakan kita
sehari – hari.
Dalam makala ini kita membahas bagaimana peranan Ilmu Theologia dalam
proses pembelajaran Pendidikan Agama Kristen di Sekolah. Sebelum kita masuk
dalam pembahasan kita harus mengetahui dasar dari pokok pembahsan. Berbicara
mengenai ilmu, berarti kita membicarakan “sesuatu” yang sifatnya
multidisipliner. Salah satunya adalah Teologi sebagai Ilmu. Berbicara mengenai
Teologi sebagai Ilmu, merupakan hal yang “gampang-gampang, susah” maksudnya
kita dituntut harus cermat dalam mengembangkan pemikiran tersebut, karena pada
“pembuktiannya” kita akan diperhadapakan dengan berbagai multidisipliner ilmu.
Sehingga “secara tidak langsung” menuntut kepada kita untuk dapat
mempertanggungjawabkan ilmu yang kita pahami/”dalami” untuk mendapatkan
pengkuan bahwa teologi itu dapat disebut sebagai ilmu.
Namun demikian dalam pembuktiannnya kita jangan melepaskan peranan serta
iman kita. Sebab ketika kita melepaskan peranan di sekolah serta iman kita kepada Yesus Kristus maka kita
tidak dapat memahami apa yang sesungguhnya kita cari (dalam hal ini teologi
sebgai ilmu). Tulisan ini, akan memuat tentang Pengenalan Singkat Mengenai
Sejarah Ilmu; Ilmu Pengetahuan, Teologi
dan Iman; pada bagian akhir tulisan ini dikemukakan suatu kesimpulan tentang teologi sebagai ilmu. Oleh karena itu
penulis optimis bahwa tulisan singkat berikut ini, “setidaknya” dapat
memberikan wawasan tentang teologi sebagai ilmu, bagi sidang pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................
2
BAB I
PEDAHULUAN
BAB II
PERANAN
ILMU TEOLOGIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN SMK
NUSA PENIDA MEDAN
1. Mengajar dan Mendidik Iman Kristen Sejak Kecil
2. Mendidik untuk Hidup Bersosialisasi
3. Membentuk Kemandirian
BAB III
KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan kedua yang harus diperhatikan adalah pendidikan sekolah dan
gereja. Setelah keluarga mendidik anak-anak kecil, maka tugas kedua yang harus
mendidik anak tersebut adalah sekolah. Saya menggabungkan dua elemen ini, yaitu
sekolah, karena sekolah Kristen yang beres TIDAK bisa dilepaskan dari peran
gereja di mana anak itu beribadah.
Tetapi sayang, di era postmodern yang serba relatif, sekolah “Kristen” pun
relatif dan tidak ada kaitannya dengan gereja, bahkan dengan Kekristenan secara
teori maupun praktis. Akibatnya, satu sekolah “Kristen” di Surabaya bisa
didukung oleh berbagai denominasi gereja, tetapi herannya tidak pernah mengajar
anak dari kecil untuk menggumuli panggilan hidupnya di hadapan Tuhan.
Sungguh ironis! Sudah saatnya sekolah-sekolah Kristen bertobat dari
dosa-dosa mereka di zaman dahulu maupun sekarang. Sekolah Kristen dan gereja
harus bersama-sama menggarap anak-anak didik Kristen dari kecil untuk memiliki
hati seorang hamba yang taat kepada Allah sebagai Tuhannya. Itulah kedewasaan
sejati yang Tuhan inginkan. Lalu, bagaimana mendidik kedewasaan kepada anak di
lingkungan sekolah Kristen dan gereja? Prinsipnya sama seperti pendidikan yang
dilakukan oleh orangtua, tetapi aplikasinya agak sedikit berbeda.
BAB II
PERANAN ILMU
TEOLOGIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
SMK NUSA
PENIDA MEDAN
1. Mengajar dan
Mendidik Iman Kristen Sejak Kecil
Tugas para pendidik Kristen yang terutama adalah mengajar dan mendidik iman
Kristen sejak kecil kepada para anak didik mereka. Iman Kristen bukan hanya
menjadi bidang yang harus diajar oleh guru agama Kristen, tetapi seharusnya
diajar oleh semua guru bidang apa saja.
Dengan kata lain, pendidik Kristen harus menguasai banyak bidang termasuk
theologi dan iman Kristen. Nah, agar para pendidik Kristen menguasai bidang
theologi, tentu, mereka harus belajar Alkitab dan theologi terlebih dahulu
(meskipun tidak harus bergelar akademis di bidang theologi). Lalu, apa tujuan
para pendidik Kristen menguasai theologi untuk mengajar para anak didik mereka
tentang iman Kristen?
a) Mengarahkan arti dan
panggilan hidup: memuliakan Tuhan
Tujuan pertama yaitu untuk mengarahkan para anak didik akan pentingnya arti
dan panggilan hidup masing-masing pribadi yaitu memuliakan Tuhan. Ada dua hal:
arti dan panggilan hidup. Belajarlah hai para pendidik Kristen untuk mengajar
dan mendidik dari kecil bahwa arti hidup mereka TIDAK ditentukan oleh diri
mereka sendiri, dll, tetapi oleh Tuhan Allah yang menciptakan mereka. Dari
kecil, ajarkanlah konsep penciptaan kepada anak-anak, sehingga mereka dari
kecil mengerti bahwa hidup mereka baru memiliki arti ketika mereka kembali kepada
Pencipta mereka.
Jika mereka dari kecil sudah mengerti hal ini, percayalah, ketika mereka
dewasa, mereka tidak akan lagi kebingungan akan arah dan arti hidup mereka.
Selain tentang konsep penciptaan, kita sebagai para pendidik Kristen perlu
mengajar mereka tentang konsep dosa dan penebusan. Setelah Allah menciptakan
manusia, manusia memberontak dan melawan-Nya, itulah dosa. Ajarkanlah bahwa
dosa bukan sekadar membunuh, mencuri, dll, tetapi inti dosa adalah melawan
ketetapan-Nya. Ajarkanlah pula bahwa sebagai pendidik Kristen pun jika kita
melawan ketetapan-Nya, kita tetap berdosa. Ajarkan kepada mereka bahwa dosa itu
tidak bisa diselesaikan oleh manusia siapa pun, kecuali oleh Tuhan Allah.
Karena kasih-Nya, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk
menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. IA mati di salib demi menggantikan
dosa-dosa kita.
Tentu, ketika kita mengajar konsep dosa dan penebusan, kita tidak perlu
memakai bahasa-bahasa tingkat theolog, tetapi kita bisa memakai bahasa-bahasa
yang sederhana dan alat-alat peraga yang memadai supaya anak-anak dari kecil
bisa mengerti. Berarti, di dalam sekolah Kristen, mandat penginjilan tidak bisa
dilepaskan dari ilmu.
Sekolah Kristen yang tidak lagi memberitakan Injil, patutkah sekolah itu
disebut sekolah yang menyandang nama “Kristen”? Setelah mengajar dan mendidik
konsep penciptaan, dosa, dan penebusan, kita sudah mulai menanamkan konsep
dasar iman Kristen yang mengakibatkan anak dari kecil sudah tahu bahwa Allah
mencipta mereka (bukan berdasarkan teori evolusi bahwa manusia ada dari monyet
yang berevolusi), bahwa mereka berdosa dengan melawan ketetapan-Nya (bukan
konsep bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa), dan bahwa mereka sudah ditebus
oleh Kristus (bukan konsep bahwa mereka bisa diselamatkan dengan sendirinya
melalui jasa, dll).
Poin kedua yang harus kita mengerti selain arti hidup, yaitu tentang
panggilan hidup. Setelah diajar dan dididik tentang arah hidup yang berpaut
kepada Allah sebagai Pencipta, lalu diajar tentang dosa dan penebusan di dalam Kristus,
anak-anak perlu diajar dan dididik juga tentang respons mereka akan apa yang
sudah Allah perbuat bagi mereka yaitu panggilan hidup mereka dari Allah.
Karena mereka telah dicipta dan ditebus oleh Kristus, maka sudah seharusnya
para pendidik Kristen harus mengajar anak-anak didik mereka untuk HANYA menaati
apa yang menjadi panggilan Allah bagi setiap pribadi mereka yang unik.
Jangan pernah membiarkan mereka memiliki ambisi pribadi sendiri, tetapi
ajarkan kepada mereka untuk menggumuli panggilan Allah bagi hidupnya sejak
kecil melalui talenta yang Ia percayakan kepada masing-masing anak secara
berbeda. Ini bukan sekadar teori, tetapi harus kita aplikasikan.
Panggilan Allah ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang menyerahkan diri
secara penuh waktu menjadi hamba Tuhan, tetapi juga bagi kita yang melayani
Tuhan “di dunia luar.” Artinya, di dalam pekerjaan mana yang harus kita geluti
pun, Tuhan memanggil setiap kita berbeda berdasarkan talenta yang Tuhan berikan
kepada kita masing-masing SECARA BERBEDA.
Mandat kita hanya satu yaitu memuliakan Tuhan sesuai dengan talenta yang
Tuhan percayakan kepada kita. Sebagai para pendidik Kristen, kita harus
menyadarkan anak didik kita sejak kecil tentang talenta yang Tuhan berikan
kepadanya untuk nantinya mereka perkembangkan.
b) Mengarahkan motivasi hidup
Selain arti dan panggilan hidup, para pendidik Kristen harus mengajar dan
mendidik anak-anak mereka tentang motivasi. Artinya, para pendidik Kristen
harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi sebelum para anak
didik mereka melakukan segala sesuatu. Ketika mereka mau bertindak sesuatu,
mereka harus diajar bagaimana memiliki motivasi yang murni terlebih dahulu,
sehingga ketika mereka bertindak, bukan kehendak mereka yang diutamakan, tetapi
kehendak Tuhan.
Di sini, perlu kepekaan rohani yang tinggi dari para pendidik Kristen.
Sebelum mengajar anak-anak mereka, hendaklah para pendidik Kristen terlebih
dahulu mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup. Setelah mereka
mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup, barulah mereka layak membimbing
para anak didik mereka. Anak didik yang dari kecil sudah diajar dan dididik
untuk memiliki motivasi yang murni ketika melakukan segala sesuatu, maka anak
didik itu pasti tumbuh dewasa dengan beriman, berkarakter, dan bermental dewasa
pula, bukan hanya secara fisiknya dewasa.
Adalah suatu kekonyolan jika ada pendidik Kristen yang tidak memiliki
motivasi yang murni (misalnya, mereka mau menjadi guru, bukan karena panggilan
menjadi guru, tetapi untuk mencari uang atau mencari pengalaman) berani
mengajari para anak didik mereka untuk memiliki motivasi yang murni.
2. Membentuk
Kemandirian
Peran keluarga atau
sering juga disebut dengan faktor guru PAK dan keluarga adalah merupakan salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap belajar siswa. Slamento
[1], menyatakan bahwa siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa: cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga dan suasana rumah tangga. Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar anaknya. Hal ini jelas dan dipertagas oleh Sutjipto[2], yang menyatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga yang sehat besar artinya untuk pendidikan dalam ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia. Melihat pernyataan di atas, dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga di dalam pendidikan anaknya. Cara orang tua mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya. Disinilah bimbingan dan penyuluhan memegang peranan yang penting. Anak/ siswa mengalami kesukaran-kesukaran dapat ditolong dengan memberikan bimbingan yang sebaik-baiknya. Tentu saja keterlibat orang tua akan sangat mempengaruhi keberhasilan bimbingan tersebut. Demi kelancaran belajar dan keberhasilan anak, perlu diusahakan relasi yang baik di dalam keluarga anak tersebut. Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk mensuksekan belajar anak itu sendiri. Lebih lanjut Syah menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial[3]. Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi belajar siswa antara lain faktor atau peran keluarga. Lingkungan keluarga sangat mempengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orang tua, serta pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga, orang tua dan anak yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa faktor atau peranan keluarga sangat berpengaruh dalam kegiatan belajar atau kemandirian belajar siswa.
menyatakan bahwa siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari guru PAK
berupa: cara guru mendidik, relasi dalam linkungan belajar.
Cara orang tua dalam
keluarga mendidik anaknya besar
pengaruhnya terhadap belajar anaknya. Hal ini jelas dan dipertagas oleh
Sutjipto, yang menyatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama
dan utama. Keluarga yang sehat besar artinya untuk pendidikan dalam ukuran
kecil, tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar yaitu
pendidikan bangsa, negara dan dunia. Melihat pernyataan di atas, dapat dipahami
betapa pentingnya peranan keluarga di dalam pendidikan anaknya. Cara orang tua
mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya. Disinilah bimbingan
dan penyuluhan memegang peranan yang penting. Anak/ siswa mengalami
kesukaran-kesukaran dapat ditolong dengan memberikan bimbingan yang
sebaik-baiknya. Tentu saja keterlibat orang tua akan sangat mempengaruhi
keberhasilan bimbingan tersebut. Demi kelancaran belajar dan keberhasilan anak,
perlu diusahakan relasi yang baik di dalam keluarga anak tersebut.
Hubungan yang baik
adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai dengan
bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk mensuksekan belajar anak itu
sendiri. Lebih lanjut Syah menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor
lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial. Faktor lingkungan sosial
yang mempengaruhi belajar siswa antara lain faktor atau peran keluarga.
Lingkungan keluarga sangat mempengaruhi kegiatan belajar.
Ketegangan keluarga,
sifat-sifat orang tua, serta pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi
dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga,
orang tua dan anak yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas
belajar dengan baik. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa faktor atau peranan keluarga sangat berpengaruh dalam kegiatan
belajar atau kemandirian belajar siswa.
Setelah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil, para pendidik
Kristen harus membentuk kemandirian para anak didik mereka. Ini adalah wujud
kedewasaan eksternal yang diaplikasikan di dalam wilayah pendidikan Kristen
dalam sekolah dan gereja. Membentuk kemandirian tidak berarti kita mengajar
mereka individualis, tetapi mengajar dan mendidik para anak didik untuk hidup
berdikari (sambil tetap bersosialisasi). Apa yang perlu diperhatikan untuk
membentuk kemandirian tersebut?
a) Mengajar etika dan moralitas,
karakter, dan ilmu-ilmu
Setelah mengajar tentang arti, panggilan, dan motivasi hidup secara
Kristiani, para pendidik Kristen harus mengajar hal-hal lain, misalnya: etika,
moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu lain. Ini untuk membentuk keseimbangan
antara pengertian iman dengan kehidupan sehari-hari sebagai wujud aplikasinya.
Banyak pendidik “Kristen” yang melupakan aspek pengajaran iman dan hanya
menekankan aspek pendidikan kognitif semata, akibatnya, sampai dewasa,
anak-anak mereka tidak memiliki iman yang beres. Pendidikan kognitif (akademis)
tanpa iman akan menciptakan para bajingan, penipu, dan teroris masa depan,
karena tidak dibarengi dengan pengertian iman, etika, moralitas, dan karakter.
Oleh karena itu, sudah seharusnya para pendidik Kristen mengajar iman
Kristen terlebih dahulu kepada anak-anak mereka, baru setelah itu hal-hal lain,
seperti: etika, moralitas, karakter, dll, sehingga struktur pikiran para anak
didik Kristen dari kecil mulai terbentuk mulai dari takut akan Tuhan, lalu
mulai menguasai banyak hal untuk memuliakan-Nya. Hal-hal itulah yang akan kita
uraikan di sini.
Mengajar
etika dan moralitas
Setelah mengajar iman, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik
mereka dengan etika dan moralitas. Etika dan moralitas berbicara mengenai apa
yang baik dan tidak yang berkaitan dengan nilai hidup. Etika dan moralitas
dipelajari bukan karena kita adalah orang Timur. Alkitab sudah mengajar hal
ini.
Etika dan moralitas Alkitabiah adalah etika dan moralitas yang theosentris,
itulah yang kita taati. Sedangkan etika-etika dan moralitas duniawi yang
MELAWAN Alkitab tidak boleh kita taati. Hal ini tidak berarti kita
anti-duniawi. Yang saya maksud adalah jika ada etika-etika (dan moralitas)
sekuler yang tidak melawan Alkitab, kita ikuti, tetapi yang melawan Alkitab,
hal tersebut tidak boleh kita ikuti. Dengan kata lain, saya menggabungkan 2
macam etika dan moralitas: Alkitabiah dan duniawi.
Etika dan
moralitas berbicara mengenai apa yang baik dan tidak yang berkaitan dengan
nilai hidup. Etika dan moralitas dipelajari bukan karena kita ini adalah orang
Timur, melainkan karena Alkitab sudah mengajarkannya. Etika dan moralitas
Alkitabiah adalah etika dan moralitas yang theosentris, itulah yang kita taati.
Sedangkan etika-etika dan moralitas duniawi yang MELAWAN Alkitab tidak boleh
kita taati. Hal ini tidak berarti kita anti-duniawi. Yang penulis maksud adalah
jika ada etika-etika (dan moralitas) sekuler yang tidak melawan Alkitab, kita
ikuti, tetapi yang melawan Alkitab, hal tersebut tidak boleh kita ikuti.
Sebagai contoh,
Etika dan moralitas Alkitabiah mengajarkan untuk menghormati orangtua (Kel.
20:12). Hal yang mirip juga diajarkan oleh etika dunia Timur khususnya dari
filsafat Tionghoa yang menganut kepercayaan Budha dan Kong Hu Cu. Tetapi
bedanya, filsafat Tionghoa tentang menghormati orangtua itu diekstrimkan,
sehingga menghormati orangtua tidak ada bedanya dengan menyembah orangtua.
Tidak heran, ketika orangtua meninggal, anak-anak mereka (bahkan ada yang sudah
“Kristen”) masih ikut-ikutan sembahyang di depan foto orangtua mereka, bahkan
ada yang membeli roti, mobil-mobilan, dan hal-hal lain untuk diletakkan di
depan foto orangtua mereka.
Alkitab
mengajar kita untuk menghormati orangtua, bukan untuk menyembah orangtua.
Menghormati orangtua dilakukan ketika orangtua masih hidup, bukan ketika
orangtua sudah meninggal. Ketika orangtua kita meninggal, lalu kita sembahyang,
itu tandanya kita tidak lagi menghormati, tetapi sudah menyembah, karena yang
kita hormati sudah meninggal. Dan lagi, Alkitab mengecam keras bahwa barangsiapa
yang menyembah ilah-ilah lain di luar Allah, mereka akan dihukum Allah sampai
keturunan yang ketiga dan keempat (Kel. 20:4-5).
Etika Alkitabiah adalah wahyu khusus dari Allah (yang 100% benar),
sedangkan etika duniawi adalah respons manusia berdosa terhadap wahyu umum
Allah (yang bisa benar dan bisa salah). Kepada anak didik yang masih kecil,
para pendidik Kristen harus bijaksana mengajar etika dan moralitas dengan cara
yang mudah dimengerti. Misalnya, mengajar mereka agar tidak berbohong, tidak
mencuri, dll bukan dengan menakuti-nakuti mereka, tetapi dengan mendorong
mereka melakukannya sebagai respons cinta mereka kepada Tuhan dan
perintah-perintah-Nya.
Ini yang membedakan etika Alkitabiah
dengan etika duniawi. Kalau dunia mengajar anak dari kecil untuk tidak
berbohong, tidak mencuri, dll sebagai suatu perintah yang menakutkan, tetapi
etika Kristen yang Alkitabiah mengajarkan bahwa kita melakukan semuanya itu
sebagai respons kita mengasihi-Nya dan firman/perintah-Nya (1Yoh. 5:3).
Lalu kepada para siswa/i sekolah, para pendidik Kristen bisa meningkatkan
kualitas dalam mendidik mereka agar memiliki etika. Saya baru mengikuti Seminar:
Etos Kerja Kristen dan Pengelolaan Finansial Keluarga di gereja.
Mengajar
karakter
Setelah selesai mengajar etika dan moralitas, para pendidik Kristen harus
mengajar karakter kepada para anak didik mereka. Karakter ini berbicara
mengenai sifat, kepribadian, dll dari seorang manusia. Nah, masalahnya adalah
manusia sering menyembunyikan karakter mereka, seolah-olah mereka itu baik,
apalagi kalau di gereja. Karakter kita akan nampak jelas ketika kita berhadapan
dengan kesulitan.
Orang yang memiliki karakter dewasa ketika menghadapi kesulitan, ia tidak
mudah mengomel/bersungut-sungut atau meminta orang lain memperhatikan dirinya,
tetapi orang yang karakternya dewasa akan berusaha menahan dan menyangkal diri
di dalam kesulitan itu, lalu berusaha mencari jalan keluarnya serta berharap
kepada Tuhan. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk
memiliki karakter Kristen yang dewasa, yaitu dengan:
Pertama, belajar menyangkal diri di dalam kesulitan. Ketika ada kesulitan
menghimpit, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk
tidak membicarakannya kepada teman-temannya terlebih dahulu, melainkan harus
menyangkal diri. Mereka harus diajar untuk memecahkan masalah itu sendiri,
sambil mengajar mereka untuk berserah kepada Tuhan di dalam doa. Jika memang
masalah itu tidak bisa diatasi oleh para anak didik tersebut, mereka boleh
mensharekan kepada temannya agar temannya bisa membantu mencari jalan
keluarnya.
Kedua, belajar memperhatikan orang lain. Di dalam kesulitan dan dalam
segala hal, biasakan untuk tidak mencari perhatian dari orang lain, tetapi
justru memberi perhatian kepada orang lain. Para pendidik Kristen harus
mengajar para anak didik mereka untuk tidak terus mencari perhatian dari
temannya ketika mereka menghadapi masalah, tetapi justru ajari mereka untuk
memperhatikan temannya yang mengalami masalah lebih berat dari dirinya. Hal ini
mengajar mereka agar tidak egois.
Ketiga, belajar tidak memiliki kepribadian ganda. Setelah belajar
memperhatikan orang lain, kita harus belajar juga untuk tidak berkepribadian
ganda. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk tidak
berkepribadian ganda atau munafik. Caranya adalah dengan memiliki ketulusan dan
kasih. Kasih itu tidak berpura-pura/munafik/bertopeng (Rm. 12:9).
Mengajar
ilmu-ilmu
Setelah mengajar etika dan moralitas ditambah karakter, para pendidik
Kristen baru mengajar para anak didik mereka tentang ilmu-ilmu. Saya
meletakkannya di urutan terakhir, karena ilmu memang adalah urutan terakhir
setelah pembentukan iman, etika, moralitas, dan karakter.
Ilmu yang diajarkan oleh para pendidik Kristen ini pun harus dihakimi oleh
iman dan etika Kristiani. Hal ini tidak berarti para pendidik Kristen hanya
mengajar ilmu-ilmu yang cocok dengan iman Kristiani saja. Para pendidik Kristen
harus mengajar semua ilmu, tetapi mereka harus jujur mengakui dan mengatakan
kepada para anak didiknya tentang kesalahan suatu ilmu jika ilmu itu melawan
iman Kristen.
Mengatakan kesalahan itu pun harus dengan bahasa yang sederhana, supaya
para anak didik dari kecil sudah mengerti mana yang benar dan mana yang salah,
lalu menunjukkan ketidakberesan yang salah itu. Kalau anak didik kita sudah
beranjak remaja, dewasa, bahkan sudah mahasiswa/i, sebagai para pendidik Kristen,
kita dituntut untuk lebih kritis lagi mengajar dan menghakimi semua ilmu sesuai
dengan kebenaran Alkitab. Kita dituntut untuk berani mengatakan ilmu tertentu
itu salah sambil menunjukkan ketidaklogisan dan ketidakberesan cara berpikir
ilmu tertentu yang salah itu.
b) Mengajar bijaksana
Setelah mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu, para
pendidik Kristen dituntut untuk mengajar para anak didik mereka tentang
kebijaksanaan. Kepandaian dan akhlak itu perlu dan penting, tetapi harus disertai
dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang harus diajarkan oleh para pendidik
Kristen meliputi dua hal:
Bijaksana
dalam mengambil keputusan
Sejak kecil, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk
bijaksana dalam mengambil keputusan. Bagaimana caranya? Tentu dengan mengajar
mereka konsep-konsep sederhana tentang bijaksana, lalu mengajar dan mengaitkan
konsep bijaksana itu dengan Allah sebagai Sumber Bijaksana. Setelah itu, baru,
mereka dididik untuk bijaksana dalam mengambil keputusan menurut kehendak dan
pimpinan-Nya.
Apa yang dimaksud dengan bijaksana mengambil keputusan? Para pendidik
Kristen harus mengajar kepada para anak didik bahwa bijaksana dalam mengambil
keputusan itu adalah bijaksana dalam mengambil keputusan di saat tertentu bukan
bertujuan untuk memikirkan diri sendiri, tetapi juga memikirkan aspek dan orang
lain. Dengan kata lain, bijaksana dalam mengambil keputusan menuntut kematangan
rohani dan mementingkan kepentingan orang lain.
Kepada para anak didik yang lebih dewasa, seperti mahasiswa/i, para
pendidik/dosen Kristen harus lebih menekankan bagaimana bijaksana dalam
mengambil keputusan yang tepat di saat mendesak. Hal ini penting, mengingat
usia mereka yang cukup dewasa dan menuju ke jenjang karier dan pernikahan.
Keputusan tersebut diambil bukan berdasarkan hikmat manusia saja, tetapi
terlebih berdasarkan hikmat Allah yang melampaui hikmat manusia.
Bijaksana
dalam mengelola: waktu, keuangan, dll
Selain bijaksana dalam mengambil keputusan, para pendidik Kristen juga
harus mengajar para anak didik tentang bijaksana dalam mengelola: waktu,
keuangan, dll. Sebelum kita mengajar mereka untuk bijaksana mengelola waktu,
keuangan, dll, terlebih dahulu kita mengajar mereka tentang konsep nilai.
Ajarkanlah kepada mereka bahwa sesuatu memiliki nilai dan nilai itu ditentukan
oleh Kebenaran Allah.
Jika nilai sesuatu itu tinggi, belajarlah mengelola waktu dan keuangan demi
mengejar nilai tersebut, sebaliknya jika nilai sesuatu itu rendah, tidak usah
terlalu meributkan sesuatu tersebut. Setelah mengajar mereka tentang konsep
nilai, maka ajarkan mereka bahwa waktu itu anugerah Allah bagi kita yang harus
dipertanggungjawabkan. Lalu, ajarkanlah kepada mereka bagaimana mengatur waktu
secara tepat dan menomersatukan hubungan pribadi dengan Allah sebagai aktivitas
terpenting di dalam waktunya. Dari sini, kita melatih dan mendidik anak dari
kecil untuk menTuhankan yang patut diperTuhankan di dalam hidup dan waktu yang
dianugerahkan-Nya.
Selain waktu, uang pun adalah anugerah Allah yang diberikan kepada kita
untuk dipertanggungjawabkan. Sehingga, para pendidik Kristen harus mengajar
para anak didik untuk bijak mengelola uang Tuhan tersebut untuk kemuliaan-Nya.
Caranya, ajarkan mereka untuk pertama-tama memberikan uang persembahan kepada
Tuhan sebagai hal yang terpenting, baru sesudah itu untuk keperluan lain,
seperti: sekolah, jajan, dan bermain.
Kepada para mahasiswa/i, tugas para pendidik/dosen Kristen lebih berat
lagi, yaitu mendidik mereka untuk mempertanggungjawabkan uang dan waktu yang
Tuhan berikan demi kemuliaan-Nya. Ini lebih tidak mudah, mengapa? Karena para
mahasiswa/i yang sudah besar sulit diatur apalagi diarahkan untuk
menomersatukan Tuhan. Bukan hanya sulit diatur, apalagi bagi para mahasiswa
yang sudah/sedang berpacaran, Tuhan dijadikan ban serep, lalu pacar dijadikan
hal terpenting, maka seorang mahasiswa bisa lebih rela mentraktir pacarnya
hampir setiap hari di restoran mahal dan menyediakan waktunya untuk
berkomunikasi dengan pacarnya daripada memberikan persepuluhan dan persembahan
untuk pekerjaan Tuhan dan menyediakan waktu untuk saat teduh.
Inilah tugas berat dari seorang pendidik Kristen yang harus mengajar para
mahasiswa/i untuk bijaksana dalam mengelola waktu dan keuangan. Caranya,
sadarkan mereka apalagi mereka yang sedang berpacaran untuk lebih memikirkan
masa depan ketimbang masa sekarang. Jika di masa sekarang, mereka tidak bisa
mengelola waktu dan keuangan, maka bagaimana mungkin di masa depan mereka bisa
bertahan apalagi nantinya menikah yang membutuhkan dana yang tidak murah.
Oleh karena itu, ajarkan mereka untuk bijaksana dalam mengelola keuangan,
salah satunya adalah hemat dan menabung, lalu bijaksana juga dalam mengelola
waktu dengan tidak membuang-buang waktu untuk aktivitas yang tidak perlu.
c) Mengajar bertanggungjawab
Selain mengajar bijaksana, para pendidik Kristen harus mengajar para anak
didiknya untuk bertanggungjawab. Dari kecil, ajarkan kepada mereka untuk selalu
mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka pikirkan, katakan, dan lakukan.
Caranya, setelah seorang anak kecil selesai berkata sesuatu dan ada
perkataannya yang salah, seorang guru Kristen yang beres harus segera menegur
anak itu yang berkata salah.
Jangan pernah sungkan atau malu menegur kesalahan anak, karena itu adalah
hal penting. Jangan meniru pola pendidikan Montessori (berakar dari filsafat
Tabula Rasa yang dicetuskan oleh J. J. Rouseau) yang mengajar bahwa setiap anak
itu dilahirkan baik dan guru dibutuhkan untuk membentuk karakter anak itu lebih
baik lagi.
Itu bukan Kristen! Ketika dari kecil, guru Kristen tidak mau menegur
kesalahan seorang anak, maka anak itu tidak tahu mana yang benar dan salah
sampai anak itu bertumbuh dewasa. Jika demikian, yang patut disalahkan selain
orangtuanya adalah gurunya juga. Para pendidik Kristen dituntut untuk tidak
meniru format pendidikan dunia, karena Kekristenan mengajar hal yang berbeda
total dari format pendidikan dunia khususnya dalam hal ini, di mana Tuhan Yesus
mengajar, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan:
tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat. 5:37) Yakobus
mengutip kembali pengajaran Tuhan Yesus ini di dalam Yakobus 5:12.
Kepada para mahasiswa/i, para pendidik Kristen lebih berat lagi dalam
tugasnya mengajar hal ini. Mengapa? Karena seorang anak didik yang sudah besar
sulit diajar untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu, apalagi di era
postmodern di mana cuek-isme dijunjung tinggi (pragmatis). Meskipun berat, para
pendidik Kristen tetap harus mengajar para mahasiswa/i untuk
mempertanggungjawabkan segala sesuatu, sehingga di kemudian hari, mereka bisa
hidup lebih dewasa lagi.
Bagaimana caranya? Ketika ada seorang mahasiswa/i yang etikanya tidak beres
di sebuah kelas, dosen Kristen yang beres harus menegurnya. Sayangnya, hal ini
jarang kita jumpai lagi, apalagi di sebuah kampus “Kristen.” Jangankan ada
dosen Kristen yang berani menegur mahasiswanya, dosennya sendiri ada yang tidak
beres. Saya sedih melihat sikap seorang dosen di kampus “Kristen” yang merokok
sebelum kelas dimulai, padahal di kampus ini diberlakukan peraturan tidak boleh
merokok. Untung saja, mungkin, tidak banyak mahasiswa yang melihat tindakan
dosen ini.
Melatih
anak untuk hidup susah
Hal terakhir yang harus diajarkan oleh para pendidik Kristen adalah melatih
para anak didik untuk hidup susah. Artinya ajarkan kepada mereka untuk memiliki
mental yang lebih mandiri, yaitu berani menyangkal diri dan mencari jalan
keluar sendiri ketika ada masalah. Contohnya, jika ada seorang anak didik yang
bertanya tentang hal-hal yang sudah diajarkan sejak lama kepada gurunya,
seorang guru Kristen tidak perlu terus menjawab pertanyaan tersebut. Ajari
mereka untuk mencari jawaban sendiri misalnya dengan bertanya kepada teman atau
memikirkan sendiri jawabannya.
Kepada para mahasiswa/i, para dosen Kristen harus melatih mereka untuk
hidup susah juga. Tetapi tentu ini adalah tugas yang lebih sulit lagi,
mengingat jika dosen Kristen ini mengajar di sekolah swasta di mana banyak siswanya
naik mobil sendiri. Meskipun sulit, para guru Kristen harus mengajar para siswa/i
untuk menyangkal diri dan mencari jalan keluar sendiri ketika ada masalah.
Misalnya, latihlah mereka tentang logika dan bagaimana berpikir logis ketika
ada masalah.
Selain itu, latihlah mereka untuk mengerjakan pekerjaan yang sulit dan
kotor, sehingga mereka terbiasa untuk hidup tidak terlalu enak-enakan. Anak
yang sudah terbiasa mengerjakan sesuatu yang sulit dan kotor, anak itu akan
lebih memiliki ketahanan yang kuat ketika nantinya harus mengalami kesusahan
hidup yang lebih berat. Sayangnya, banyak mahasiswa yang tidak mampu menghadapi
kesulitan hidup dikarenakan mereka dari kecil tidak diajar untuk berani susah.
Bukan hanya mahasiswa, seorang hamba Tuhan pun sampai sekarang tidak berani
susah, dalam arti jijik melihat sesuatu yang kotor, bahkan saya sendiri melihat
di jok mobilnya ditutupi dengan alas surat kabar supaya tidak kotor. Waduh,
kalau hal-hal sepele begini saja sudah seperti itu, bagaimana dia bisa
berperang menghadapi kesulitan hidup?
3. Mendidik
untuk Hidup Bersosialisasi
Sosialisasi adalah
sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu
generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah
sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan.
Setiap kelompok masyarakat mempunyai
standar dan nilai yang berbeda. contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau
tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah,
misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau
tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan,
seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu.
Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada.
Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai
berikut :
Ø Formal
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui
lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara,
seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
Ø Informal
Sosialisasi tipe ini terdapat di
masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara
teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di
dalam masyarakat.
Dari kedua tipe sosialisasi
tersebut, formal dan informal, kita lebih banyak mendapatkan tipe sosialisasi
informal dalam kehidupan sehari-hari. Untuk sosialisasi formal, seseorang
belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah
aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement),
universalisme, dan kekhasan (specificity).
Sedangkan informal, banyak bisa kita
dapatkan dalam sosialisasi ini.Seperti Teman pergaulan (sering juga disebut
teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke
luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang
bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses
sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa
remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian
seorang individu. Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang
melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan),
sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola
interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu,
dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan
orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai
keadilan.
Setelah mendidik untuk mandiri, para pendidik Kristen harus mengajar para
anak didik mereka untuk hidup bersosialisasi. Ini penting, supaya para anak
didik Kristen tidak hanya diajar untuk berani mandiri, tetapi juga untuk berani
berbagi hidup dengan temannya dan orang lain. Bagaimana caranya?
Mengajar
pentingnya peranan orang lain
Poin dasar untuk mengajar para anak didik untuk hidup bersosialisasi adalah
mengajar mereka pentingnya peranan orang lain, terutama teman dan orangtua.
Ajarkan mereka bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial. Ini bukan
hanya belajar PPKn atau pelajaran Pancasila, tetapi ini mengarahkan mereka
untuk belajar menerima teguran, kritikan, dll dari orang lain yang membangun
ketika mereka bersalah.
Dari situlah, seorang anak didik Kristen sejak kecil menerima realitas
bahwa orang lain itu berperan di dalam hidupnya. Lalu, setelah dewasa, ia tidak
akan hidup egois lagi. Tetapi, sayangnya, dunia postmodern sangat tidak
menyukai kritikan yang membangun, karena bagi mereka, itu menghakimi. Alhasil,
tidak usah heran, banyak pemuda/i dan orang dewasa/tua Kristen ketika ditegur
dosanya, mereka akan marah-marah, apalagi orang yang sudah tua ketika ditegur,
mereka akan balik memarahi kita yang menegurnya lalu mengatakan bahwa kita
kurang ajar berani mengajari orang tua. Semuanya itu disebabkan karena tidak
adanya pendidikan tentang bagaimana hidup bersosialisasi dengan orang lain.
Mengajar
untuk memperhatikan orang lain
Setelah diajar mengenai pentingnya peranan orang lain, para anak didik
Kristen harus diajar juga untuk memperhatikan mereka. Artinya, kita bukan
memanfaatkan peranan orang lain itu demi keuntungan kita. Kita dituntut untuk
memperhatikan orang lain. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik
mereka untuk segera tanggap ketika ada temannya yang sakit atau membutuhkan
bantuan. Ketika anak dari kecil diajar demikian, maka saat dewasa pun, anak ini
akan memperhatikan orang lain bahkan mereka yang lebih menderita.
Mengajar
untuk berbagi berkat kepada orang lain
Wujud dari memperhatikan orang lain adalah dengan berbagi berkat kepada
orang lain. Inilah tugas para pendidik Kristen di dalam mengajar para anak
didik mereka. Didiklah mereka dari kecil untuk berbagi berkat kepada orang
lain. Bagaimana caranya? Caranya adalah mendidik anak kecil untuk berbagi bekal
makanan yang mereka bawa dari rumah kepada temannya. Hal ini mendidik anak
kecil agar hidupnya tidak egois.
Nanti, setelah beranjak dewasa, yaitu pada waktu mahasiswa/i, coba didik
mereka bukan hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi hidup, pengetahuan, dan
pengalaman, terutama mengenai iman dan karakter kepada orang lain, sehingga
orang lain diberkati melalui sharing mereka. Jika ada teman mengalami kesulitan
dalam mengerjakan tugasnya, maka para mahasiswa/i dituntut untuk membantu
meringankan kesulitan itu, mungkin dengan mengajari temannya yang belum
mengerti itu.
Ketika kita berbagi berkat kepada orang lain, selain orang lain diberkati,
kita pun dikuatkan. Semakin kita banyak membantu mengajari teman yang belum
mengerti, selain teman kita yang diberkati, kita pun juga mendapat banyak
berkat yaitu bertambahnya ilmu yang kita kuasai. Saya bukan sekadar berteori,
saya sudah menjalankannya dan telah mendapat banyak berkat dengan banyak
sharing kepada orang lain.
BAB III
KESIMPULAN
Ilmu teologi selalu menggumuli
prihal kehidupan manusia yang konkrit dalam hubungan dengan Allah, dengan kata
lain masalah inti yang harus “dipecahkan” dari teologi (teolog) ialah hal
beriman. Beriman tidak dapat disamakan dengan menganggap benar isi Alkitab dan
dogma-dogma gereja, Melaikan “beriman atau percaya” dirumuskan sebagai
aktivitas hidup manusia termasuk di dalamnya aspek “eksistensinya”: badani,
rohani, psikis dan sosial dalam hubungan akrab dengan Allah dan berorientasi
kepadaNya. Hal inilah yang menjadi dasar pentingnya peranan Teologia dalam Pendidikan
Agama Kristen dalam sekolah.
Kita juga dapat mengatakan bahwa;
jika iman Alkitabiah tercapai, khususnya dalam penerapan pada keadaan seseorang
yang sesuai gambaran Alkitabiah, maka tugas dari pada teolog adalah
menghubungkan secara otentik satu dengan yang lain sebagaimana setiap orang
mempelajari teologi dalam Sekolah dari sudut Alkitabiah dalam peranan Teologia dalam Pendidikan Agama
Kristen dalam sekolah.
Oleh karena itu, kita sebagai peran
teolog harus mampu “mengekspresikan”/ berteologi dengan tepat dalam Pembelajaran.
Dalam pelaksananya tentu harus memakai metode-metode penelitian termasuk
penggabungan analisa dari bidang ilmu yang lainya, sambil tetap berorientasi pada
Alkitab sebagai sumber utama.
TERIMAKASIH